Pages

Rabu, 24 Oktober 2012

PENDIDIKAN ISLAM DAN PERADABAN INDUSTRIAL

Oleh:  Ahmad Munadi

 
Pendahuluan

Globalisasi yang melanda masyarakat muslim saat ini menampilkan sumber dan watak yang berbeda dari arus globalisasi  akhir abad 19 di Timur Tengah. Saat ini arus globalisasi justru bersumber dari Barat yang sekaligus menjadi pengendali dan pemegang hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan, baik ekonomi-politik maupun sains-teknologi, bahkan termasuk juga budaya dan gaya hidup.  Dengan terbukanya “keran” globalisasi, maka perdagangan bebas dinilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta  pembangunan masyarakat industry , yang menjadi salah satu ciri masyarakat pada millennium  ketiga ini.  

Memasuki millennium ketiga, dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai persoalan yang begitu kompleks dan mendunia yang memaksa para actor pendidikan untuk segera merumuskan solusi dalam mengatasi persoalan tersebut,  sebab arus globalisasi dan industrialisasi yang menggila saat ini tidak menutup kemungkinan menjadikan dunia pendidikan akan ketinggalan zaman. Dengan demikian, maka pendidikan sesungguhnya berada pada posisi yang sangat strategis dalam merespon berbagai tantangan zaman, karena pendidikan menjadi bagian yang secara langsung terlibat dalam mempersiapkan masa depan peradaban manusia.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka Islam sebagai bagian dari masyarakat dunia tentu saja tidak bisa menghindar dari arus globalisasi dan industrialisasi yang melanda masyarakat dunia saat ini, sehingga pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan dan perubahan peradaban tersebut. Dalam menghadapi suatu perubahan diperlukan suatu desain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan baru. Jika tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan paradigma lama, maka segala usaha akan memenuhi kegagalan . Karena itulah kemudian pendidikan Islam perlu didesain untuk menjawab tantangan perubahan peradaban yang terjadi, tentu dengan tetap bersikap kooperatif terhadap konsep-konsep Qurani. Lalu persoalannya kemudian adalah mampukah pendidikan Islam eksis di tengah gempuran arus peradaban industrialisasi yang mendunia saat ini? Apakah pendidikan Islam akan tetap bertahan dengan “keIslamannya” atau malah ikut terseret arus peradaban industrial?

Persoalan tersebut di atas sesungguhnya  memberikan gambaran posisi pendidikan Islam saat ini, sehingga persoalannya kemudian adalah bagaimana mendesain pendidikan Islam yang responsive di tengah arus peradaban industry tersebut. Oleh karena itu, melalui coretan-coretan sederhana ini penulis akan memaparkan bagaimana konsep dan orientasi pendidikan Islam, serta bagaimana mendesain pendidikan Islam dalam menghadapi arus peradaban industrial.
 
Pendidikan Islam dan Peradaban Insdustrial

Sebelum berbicara lebih jauh terkait orientasi pendidikan Islam perlu kiranya dipaparkan terlebih dahulu definisi pendidikan Islam sebagai pijakan awal untuk memahami lebih jauh orientasi pendidikan Islam. Terkait definisi Pendidikan Islam, para ahli memberikan definisi yang beragam, semua ini tentu saja dipengaruhi perbedaan sudut pandang. Walaupun demikian, secara substansi definisi-definisi tersebut secara signifikan tidak memiliki perbedaan. Achmadi misalnya mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)  sesuai dengan norma Islam.
Sementara itu Arifin mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah system pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya,  bandingkan dengan Fadhil al Jamily , pendidikan Islam merupakan proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dengan mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar). Jika dianalisis beberapa definisi tersebut mengarah kepada usaha merubah manusia baik secara fisik maupun psikologis berdasarkan nilai-nilai Islami. Dengan demikian, pendidikan Islam sesungguhnya merupakan proses pemanusiaan manusia dengan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Setelah merumuskan definisi pendidikan Islam, maka persoalan yang tidak kalah petingnya adalah rumusan tentang orientasi atau tujuan dari pendidikan tersebut. Rumusan ini menjadi sangat urgen mengingat tujuan sebagai factor penentu kemana pendidikan akan diarahkan, sehingga tujuan pendidikan perlu dirumuskan dengan sebaik-baiknya.

Rumusan tujuan pendidikan akan tepat jika sesuai dengan fungsinya. Brubacher sebagaimana yang dikemukakan Achmadi merumuskan tiga fungsi tujuan pendidikan yaitu: 1) memberikan arah bagi proses pendidikan; 2) memberikan motivasi dalam aktivitas pendidikan karena pada dasarnya tujuan pendidikan merupakan nilai-nilai yang ingin dicapai dan diinternalisasikan pada anak atau subjek didik; dan 3) tujuan pendidikan merupakan criteria atau ukuran dalam evaluasi pendidikan.  Dengan demikian, maka tujuan dalam pendidikan harus dapat memberikan arah, motivasi, serta criteria terhadap proses pendidikan.
Thoib mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam tidak dengan sebenarnya mengarah kepada hal yang positif, namun hanya diorientasikan kepada kehidupan akhirat saja dan cendrung hanya berupaya menghindar dari serangan gagasan Barat yang notabennya mengancam standar moralitas Islam.  Dengan demikian, maka tidak mengherankan kemudian jika rumusan tujuan pendidikan Islam hanya mandek pada tataran teoritis-formatif, yaitu bagaimana menciptakan pribadi muslim yang beriman dan bertaqwa. Jika demikian, lalu persoalnnya kemudian adalah bagaimana system evaluasi yang harus dibangun untuk menilai standar keimanan dan ketaqwaan? Di sinilah letak problematika  pendidikan Islam.

Argumentasi yang dikemukakan Thoib tersebut nampak dari rumusan tujuan pendidikan yang dikemukkan oleh beberapa ahli pendidikan Islam. Imam Ghazali misalnya mengemukakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,  sementara itu Marimba merumuskan bahwa tujuan pendidikan Islam diidentikan dengan tujuan hidup  setiap muslim yaitu terbentuknya kepribadian muslim. al Abrosy sebagaimana yang dikemukakan Zuhairini, merumuskan lima tujuan asasi pendidikan Islam yaitu: 1) untuk membantu pembentukan akhlaq yang mulia; 2) persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat; 3) menumbuhkan ruh ilmiah (scientific spirit) pada pelajaran dan menumbuhkan curiosity untuk mengkaji ilmu; 4) menyiapkan pelajar dari segi professional, teknis dan perusahaan supaya dapat menguasai profesi tertentu; dan 5) persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi pemanfaatan.

Tujuan pendidikan sebagaimana yang dirumuskan Ghazali dan Marimba tersebut di atas sangatlah ideal sehingga sangat sulit untuk direalisasikan bahkan mungkin akan sebatas cita-cita dan harapan belaka, sebab tujuan tersebut bersifat filosofis, termasuk juga rumusan yang dikemukakan al Abrasy pada point 1 dan 2 yaitu pembentukan akhlak serta persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat, sementara point 3, 4, dan 5 memperlihatkan tujuan pendidikan yang lebih bersifat aplikatif, sehingga dari sini dapat dianalisis bahwa tujuan pendidikan Islam dapat dirumuskan menjadi tujuan yang bersifat filosofis dan sekaligus bersifat praktis.

Achmadi dalam hal ini mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tahapan yaitu: 1) tujuan tertinggi, pendidikan Islam diidentikan dengan tujuan hidup, yaitu menghambakan diri kepada Allah SWT, menghantarkan peserta didik menjadi Khalifah fil ard, memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat; 2) tujuan umum; tujuan ini lebih bersifat empiric dan praktis yaitu mengukur  perubahan sikap, prilaku, dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu merealisasikan diri (self realization); 3) tujuan kusus, tujuan yang ini merupakan operasional dari tujuan tertinggi dan tujuan umum. Tujuan khusus bersifat relative, sehingga memungkinkan diadakan perubahan sesuai tuntutan dan kebutuhan. 
Dalam realisasinya, pendidikan agama Islam masih menjadi problem. Muhaimin mengemukakan bahwa kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam disebabkan sifat pendidikan agama Islam yang banyak menyentuh aspek metafisik yang bersifat abstrak bahkan terkesan supra rasional, sehingga sebagian pihak mengatakan bahwa PAI tidak perlu diajarkan di sekolah. 

Dengan mencermati persoalan tersebut, penulis justru berpandangan bahwa pendidikan Islam harus senantiasa diajarkan di sekolah, namun para pendidik perlu membangun paradigma baru yaitu dengan merekonstruksi model pembelajaran yang lebih responsive terhadap probelamtika sosial.
Terkait persoalan ini, menarik apa yang yang dikatakan Tobroni  bahwa saat ini perlu ada mainstraim baru, di mana pembelajaran PAI harus diarahkan untuk implementasi kehidupan sosial berdasarkan nilai-nilai universalitas Islam, sehingga konstruksi pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) harus menekankan etika sosial. Lebih lanjut Tobroni mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, sering kali pembelajaran PAI cenderung normative, sehingga dasar filosofi yang harus digeser untuk kepentingan pembelajaran PAI ini adalah paradigma berfikir teosentris harus dikembangkan kearah teo-antoposentris.

Karena itulah kemudian, orientasi pendidikan Islam harus dibangun dalam bingkai sosio-kultural, sosio-politik, sosio-ekonomi, dengan demikian pendidikan Islam akan mampu menjawab persoalan-persoalan kemanusian di tengah peradaban dunia yang menggelobal.
Dalam perjalanannya, Pendidikan Islam di Indonesia telah melalui tiga tahapan. Tahapan pertama berlangsung pada awal masuknya Islam di Indonesia. Periode ini ditandai dengan perkembangan pesantren. Sementara tahapan kedua berlangsung semenjak munculnya ide-ide pembaharuan yang ditandai dengan lahirnya madrasah kemudian selanjutnya tahapan yang ketiga pendidikan Islam telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.

Secara historis, pesantren dinilai tidak hanya mengemban misi dan mengandung nuansa keislaman, tetapi juga menjaga nuansa keaslian (indigenious) Indonesia karena lembaga sejenis telah berdiri sejak masa Hindu-Budha, sedangkan pesantren tinggal meneruskan dan mengIslamkan saja.  Pada abad ke 15 M, pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama Islam, di antaranya walisongo. Dalam menyebarkan Islam mereka mendirikan masjid dan asrama untuk santri. Di Ampel Denta Sunan Ampel telah mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu para pemuda Islam.

Pada awal abad 20 M, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua golongan yaitu: 1) pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah Barat yang sekuler yang tak mengenal ajaran agama (corak baru); 2) pendidikan pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja (corak lama).  Ciri-ciri pendidikan corak lama: 1) menyiapkan calon ulama yang hanya menguasai masalah agama semata; 2)  kurang diberikan pengetahuan untuk menghadapi perjuangan hidup sehari-hari dan pengetahuan umum sama sekali tidak dibberikan; 3)  sikap isolasi yang disebabkan karena sikap nonkooperasi secara total terhadap Barat. Di samping karakterristik tersebut, pendidikan tradisional juga memiliki ciri-ciri yaitu:    (1) anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kurikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks. Sedangkan ciri corak baru adalah: 1) hanya menonjolkan intelek; 2) bersikap negative terhadap agama; 3) alam pikiran terasing dari kehidupan bangsanya.

Dalam sejarahnya, pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di tingkat pendidikan dasar dan menengah sejak paruh kedua abad ke-19, dan mewakili puncak pencarian elektik atas “satu sistem terbaik”. Karakteristik pendidikan tradisional sebagaimana yang dikemukakan di atas, masih dianut oleh sebagian Pesantren, Madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lainnya, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan konteks atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali memperhatikan dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran berorientasi atau berpusat pada guru (sentralistik).

Wirojosukarto sebagaimana yang dikutip Muhaimin mengatakan bahwa pondok pesantren bertujuan menyiapkan calon lulusan yang hanya menguasai masalah agama  semata dan kurikulum ditetapkan oleh Kyai dengan menunjuk kitab-kitab apa yang harus dipelajari. Keseluruhan kitab-kitab yang diajarkan di pondok pesantren dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok yaitu: 1) Nahwu dan Shorof, 2) Fiqih, 3) Ushul Fiqh, 4) Hadits, 5) Tafsir, 6) Tauhid, 7) Tasawuf, 8) cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghah.  Sementara itu metode yang diterapkan di pondok pesantren seperti metode wetonan, sorogan, muhawarah, mudzakarah, majlis ta’lim, wetonan, bahtsul masail, pengajian pusaran, muhafazhah, dan praktek ibadah.

Tujuan pendidikan pondok pesantren pada dasarnya adalah menyiapkan calon lulusan yang hanya menguasai masalah agama agama semata (Tafaqquh fi Addien ), pola pikir seperti ini dilandasi oleh pemikiran bahwa hakikat manusia adalah sebagai ‘abd Allah yang hanya mengadakan hubungan vertikal dengan Allah SWT guna mencapai kesholehan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.  Namun persoalannya kemudian adalah mampukah pesantren tetap eksis dengan orientasi pendidikan seperti ini di tengah derasnya arus perubahan zaman?

Paradigma pendidikan tradisional semisal pondok pesantren bukan merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi perlu sebuah model pendidikan yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, terutama dalam menghadapi peradaban industrialisasi.
Berbeda halnya dengan model pendidikan tradisional (baca:pesantren), pendidikan pada masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak ke arah modern (modernizing), seperti masyarakat Indonesia, pada dasarnya berfungsi memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosial kulturalnya yang terus berubah dengan cepat.

Azyumardi Azra mengemukakan bahwa, fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat modern yang tengah membangun terdiri dari tiga bagian : (1) sosialisasi, (2) pembelajaran (schooling), dan (3) pendidikan (education). Pertama, sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, pembelajaran (schooling) mempersiapkan mereka untuk mencapai dan menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu dan, karena itu, pembelajaran harus dapat membekalai peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran sosial-ekonomis dalam masyarakat. Ketiga, pendidikan merupakan "education" untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program pembangunan"
Konsep pendidikan modern dibangun berdasarkan paradigma bahwa keberhasilan pendidikan tidak dilihat dari seberapa banyak ilmu yang disampaikan kepada peserta didik, akan tetapi seberapa besar peluang yang diberikan guru kepada peserta didik untuk belajar. Dengan demikian, pendidikan harus menyentuh setiap aspek kehidupan peserta didik, pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat peserta didik.

 Peradaban adalah terjemahan dari kata Arab al hadhaarah al Islaamiyah. Kata arab ini sering diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan Kebudayaan Islam. “Kebuadayaan” dalam bahasa Arab adalah al Tsaqaafah. Dalam perkembangan ilmu Antropologi, terdapat perbedaan antara kebudayaan dan peradaban. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat dalam suatu masyarakat, seperti seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan manifestasi dari kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban seperti politik, ekonomi, dan teknologi.

Proses menuju peradaban industrial merupakan  persoalan yang pasti akan terjadi, sebab dengan industry peradaban yang lebih besar dapat dibangun. Industrialisasi memiliki keterkaitan yang erat dengan modernisasi, sebab industrialisasi merupakan bagian dari proses modernisasi. Industrialisasi bukanlah suatu perjalanan sejarah yang secara langsung dari masyarakat agraris ke masyarakat industry, masyarakat tradisional ke masyarakat modern, tetapi suatu evolusi yang multilineal. Masyarakat industry dapat terbentuk melalui berbagai cara misalnya revolusi borjuis, fasisme, komunisme dan lain sebagainya.
Memasuki peradaban industrial, Pendidikan nasional masyarakat Indonesia diarahkan pada pengembangan sains dan teknologi, sehingga masyarakat Indonesia harus diarahkan untuk mengembangkan potensi untuk meraih, mengembangkan serta menerapkan sains dan teknologi untuk meningkatkan taraf hidup . Sains dan teknologi menjadi sangat urgen sebab masyarakat industry terbentuk jika metode ilmu pengetahuan dan teknologi diterapkan dalam masyarakat, di mana sector produksi komoditi dilakukan secara mekanis dalam pabrik maupun perusahaan-perusahaan. Gejala-gejala penting dalam masyarakat industry dapat dilihat dari kenaikan output nasional, obsesi yang besar terhadap produksi dan ekspansi, tenaga kerja dan organisasi yang serba besar, spesialisasi dan rasionalisasi intelektual dan social, penekanan pada rasionalisme ekonomi, pencapaian perorangan  dan kesamaan.

Mengingat kemajuan sains dan teknologi sebagai pemicu lahirnya peradaban industry, maka visi masyarakat Indonesia di tahun 2018 adalah menciptakan manusia Indonesia yang  berpendidikan lebih tinggi, lebih sehat, pengetahuan umum lebih luas, pekerjaan makin terspesialisasi, penguasaan IPTEK yang semakin canggih, semakin intensif berineraksi dengan masyarakat internasional, sebab kekuatan Global bertumpu pada: 1) kemajuan iptek terutama dalam bidang informasi serta inovasi baru dalam bidang teknologi yang mempermudah kehidupan manusia; 2) perdagangan bebas yang ditujang kemajuan iptek; 
Industrialisasi pada satu sisi berdampak positif terhadap kemajuan peradaban masyarakat, namun pada sisi yang lain justru menjadi ancaman terhadap tata nilai keberagamaan masyarakat. Bahkan Peter L. Berger sebagaimana yang dikemukakan Kuntowijoyo mengemukakan bahwa ekonomi industrial-capitalistic merupakan wilayah sekuler yang terbebas dari agama, sehingga agama tidak memiliki kekuatan untuk melakukan legitimasi sebab hal ini akan mengancam kelangsungan dari tata ekonomi. Jika demikian, maka industrialisasi merupakan ancaman terbesar yang harus dihadapi agama, sebab kondisi ini akan berpotensi melahirkan penyakit dalam masyarakat. Namun dalam hal ini Cak Nur  justru mengatakan bahwa agama di tengah peadaban industrial akan senantiasa memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat mengingat: 1) kebutuhan atau kepercayaan kepada Tuhan dengan segala atributnya; 2) hubungan yang personal dan intim dengan Tuhan; 3) doktrin tentang fungsi-sosial harta kekayaan: tujuan hidup bukan pada terkumpulnya kekayaan tetapi cara penggunaannya untuk sesame manusia; 4) pengakuan yang pasti akan adanya hal-hal yang tidak dapat didekati secara empiris melainkan dengan cara “percaya”; 5) kepercayaan akan adanya kehidupan lain sesudah kehidupan historis (dunia).

Sebagai bagian dari modernitas, peradaban industrial berpotensi melahirkan persoalan-persoalan kemasyarakatan seperti: 1) disitegrasi antar ilmu pengetahuan (spesialisasi yang terlampau kaku) yang berujung pada  pengkotakan akal fikiran manusia; 2) kepribadian yang terpecah akibat dari kehidupan yang dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang terspesialisasi dan tidak berwatak ketuhanan; 3) dangkalnya keimanan dan ketaqwaan akibat dari kehidupan yang terlampau rasional dan individualistis; 4) timbulnya pola hidup materialistis akibat kehidupan yang berorientasi pada dunia semata; 5) cendrung menghalalkan segala cara akibat faham hedonism; 6) mudah stress dan frustasi akibat terlampau bangga dengan kemampuan diri, tanpa sikap tawakal dan percaya dengan ketentuan Tuhan; 7) perasaan terasing di tengah keramaian akibat sikap individualistis; dan 8) kehilangan harga diri akibat dari perbuatan yang menyimpang.

Problematika kehidupan masyarakat modern tersebut sebagaimana yang dikemukakan Abudin Nata sesungguhnya menghendaki sebuah reorientasi dalam pendidikan yang tidak hanya terkungkung pada tataran kognitif, namun juga harus terpartisi dalam aspek afektif-psikomotorik atau Abudin Nata menyebutnya dengan istilah pengisian jiwa, pembinaan akhlak, dan kepatuhan beribadah, sehingga dalam hal ini pendidikan Islam harus memainkan fungsi cultural dan control sekaligus. Dengan demikian, maka pendidikan Islam harus mampu menyiapkan sumber daya manusia handal yang tidak hanya sebagai konsumen produk-produk  peradaban  industrial, namun harus menjadi actor yang mampu mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan arus informasi, sains dan teknologi dengan kreatif, inovatif , dan produktif.

Dalam sejarah, terdapat beragam sikap umat Islam terhadap sains-teknologi. Sebagian umat Islam ada yang anti terhadap teknologi, ada juga yang bersikap moderat dan bersikap fleksibel terhadap perkembangan teknologi, bahkan ada yang cendrung liberal dengan menerima semua gagasan baru.
Perdebatan seputar sains-teknologi tersebut di atas hanyalah gambaran sikap umat Islam terhadap peradaban industrial. Namun yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana pendidikan Islam menghadapi peradaban industrial, mengingat peradaban industry sebagai sunatullah yang pasti akan terjadi? Apakah pendidikan Islam akan bersikap apatis terhadap perkembangan sains dan teknologi? Jika demikian, maka pendidikan Islam telah gagal membangun peradaban masyarakat madani. Jika pendidikan Islam bersikap responsive, lalu bagaimana paradigma pendidikan Islam yang responsive tersebut?

Salah satu karakteristik masyarakat industrial adalah institusi berkembang cukup kompleks dan memunculkan sikap  kompetitif  pada lapangan pekerjaan, kondisi ini menuntut pekerja memiliki keprofesionalan dalam setiap bidang pekerjaannya. Sehingga  pendidikan Islam harus mampu menghadirkan desain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian desain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu ditransformasikan secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis. Dengan demikian, maka Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pendidikan pada dataran filosofis sekaligus pada tataran metodologis.

Karena itulah kemudian dalam menghadapi tuntutan idealism cultural dan reformasi global perlu dilakukan langkah-langkah strategis di mana guru agama wajib memprofesionalkan dirinya dan beradaptasi sesuai tuntutan reformasi global, selanjutnya perlu adanya peningkatan kesejahteraan guru dan  para calon guru agama harus mempersiapkan diri melakukan penggodokan terhadap sumber daya intelektual.
Disamping  langkah-langkah strategis tersebut di atas, pendidik hendaknya mengarahkan pendidikan Islam kepada 5 hal:
1.    Pendidikan Islam jangan memperlakukan pesrta didik sebagai konsumen dari sebuah paham maupun gagasan ilmu tertentu, namun harus menjadi produsen dalam membentuk paham keagamaan yang kondusif dengan zaman. Dengan demikian pendidikan harus dilihat dari proses yang di dalamnya anak didik memperoleh kemampuan metodologis untuk memahami pesan-pesan dasar yang diberikan agama.
2.    Pendidikan hendaknya kebiasaan menggunakan anndaian-andaian model yang yang diidealisir yang selalu menjebak dalam romantisme masa lalu yang berlebihan.
3.    Bahan pengajaran agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematic empiric di sekitarnya, agar anak didik tidak memperoleh bentuk pemahaman keagamaan yang bersifat parsial.
4.    Perlu dikembangkan wawasan emansipatoris dalam proses belajar mengajar agama, sehingga anak didik memilik kesempatan berpartisipasi dalam rangka memiliki keemampuan metodologis untuk mempelajari materi dan substansi agama.
5.    Hal-hal yang berkaitan dengan emosional keagamaan, berperilaku baik, dan memiliki sikap terpuji lebih tepat ditekankan dalam lingkungan keluarga. Sementara di sekolah,  digunakan untuk melatih kemampuan pembacaan kritis anak didik, agar mereka berkemampuan mempersepsi ilmu pengetahuan dan keadaan lingkungan sosialnya berdasarkan kerangka normative agama.
Jika dicermati lebih tajam, peradaban industrial pada dasarnya memperlihatkan kontribusi pendidikan Islam sebagai wadah penghasil guru agama. Di tengah gelombang reformasi global kehadiran guru agama memiliki kompetensi strategis dalam menghantarkan peserta didik bukan terbatas pada sosok pelaku pembangunan, produser sains dan teknologi, namun mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang tidak kropos dalam persoalan moralitas

Posisi strategis guru agama tersebut menjadi sangat penting mengingat bahwa dalam peradaban industrialisasi peran pendidikan  tidak terfokus pada penyiapan sumber daya manusia yang siap pakai. Sebaliknya dunia pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menerima serta menyesuaikan dan mengembangkan arus perubahan yang terjadi dalam lingkungan. Sementara bagi pendidikan Islam, visi dan orientasi tersebut harus harus ditambah dengan  menempatkan pendidikan Islam sebagai lembaga yang melestarikan nilai-nilai luhur dan memperbaiki penyimpangannya yang diakibatkan oleh pengaruh globalisasi. 
M. Tolhah Hasan mengemukakan bahwa, pengembangan Sumber Daya Manusia tidak mungkin cukup hanya mengembangkan potensi akal dan jasad saja tanpa mempertimbangkan potensi qalbu. SDM yang tidak mempertimbangkan keunggulan spritualitas dan moralitas akan memunculkan SDM yang mempertanyakan “apa yang bisa dilakukan?” bukan “apa yang baik dilakukan?” yang lebih jauh lagi “apa yang halal dilakukan?” . Karena itulah kemudian, pendidikan Islam harus lebih kritis-konstruktif dengan menginterpretasikan gagasan normative agama dalam kehidupan yang berbasiskan sosio-religius, sosio-kultural, sosio-politik, sosio-ekonomik, maupun sosio-teknologi.
 
Penutup

Peradaban millennium ketiga ini ditandai dengan munculnya masyarakat industry di mana kemajuan sains dan teknologi telah mencapai posisi yang cukup signifikan. Dengan lahirnya peradaban industrial, maka pendidikan Islam harus mampu bertahan di tengah arus gelombang industrialisasi tersebut.
Dalam menghadapi suatu perubahan diperlukan suatu desain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan baru. Jika tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan paradigma lama, maka segala usaha akan memenuhi kegagalan. Karena itulah kemudian, pendidikan Islam perlu membangun paradigma pendidikan baru yang berbasis sosio-kultural, sosio-ekonomi, sosio-teknologi dengan merekonstruksi model pembelajaran pada tataran teosentris menuju teo-antroposentris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar