Pages

Minggu, 24 Februari 2013

REFLEKSI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER TGKH. M. ZAINUDDIN ABDUL MADJID DALAM WASIAT RENUNGAN MASA PENGALAMAN BARU

Oleh:

Ahmad Munadi



Degradasi moral yang melanda negeri ini merupakan persoalan penting yang menjadi tugas berat yang harus dipikul para praktisi pendidikan. Degradasi moral muncul sebagai akibat pudarnya karakter bangsa. Tergerusnya karakter tersebut dipicu karena terjadinya disorientasi pendidikan di mana pendidikan terjebak pada cognitive oriented yang selanjutnya mempertegas irelevansi antara aspek kognitif (pengetahuan) dengan karakter yang sejatinya dimiliki oleh peserta didik. Cognitive Oriented yang diharapkan menjadi basis kekuatan moral justru menjadi faktor munculnya degradasi moral. Dengan demikian diperlukan sebuah kajian yang lebih komprehensif terkait nilai-nilai karakter yang diharapkan dapat menjadi solusi dalam rangka mengatasi problem pendidikan tersebut.

Internalisasi nilai-nilai karakter atau pendidikan karakter bukanlah terminologi baru yang menjadi perbincangan para pakar pendidikan saat ini. Jika ditelusuri, geliat terminologi pendidikan karakter sesungguhnya telah lama mengakar dalam sejarah pendidikan itu sendiri. Pada abad ke 8 SM misalnya Homeros pernah menawarkan konsep pendidikan karakter dalam masyarakat Yunani kuno yang menekankan pertumbuhan individu secara utuh dengan mengembangkan potensi fisik dan moral. Pada abad ke 18, terminologi ini kemudian mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun perubahan sosial.

Di samping itu, tema-tema yang terkait nilai-nilai karakter (moralitas) pernah juga menjadi lahan garapan tokoh-tokoh Islam semisal Ibnu Mishkawaih. Ibnu Mishkawaih misalnya dengan doktrin “jalan tengah” dalam filsafat etikanya pernah mengemukakan bahwa perlu adanya sebuah keseimbangan dalam diri manusia yang  selanjutnya  menjadi pokok akhlak mulia seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat dan sebagainya. Nilai-nilai kejujuran, ikhlas, kasih sayang, hemat, tersebut merupakan karakter yang harus terintegrasi dalam proses pendidikan.

Dalam konteks lokal, ternyata persoalan ini pernah juga menjadi perhatian seorang tokoh karismatik masyarakat Lombok yaitu TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid selaku aktor pendiri Nahdlatul Wathan (NW) yang menjadi organisasi terbesar di NTB. TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid merupakan tokoh ulama di Pulau Lombok yang cukup concern dalam dunia pendidikan. Konsep-konsep pendidikan yang ditawarkan berbasis religious-Ethic. Gagasan ini terekam jelas dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru. TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid berpandangan bahwa segala aktivitas hendaknya dibangun atas dasar prinsip iman dan taqwa. Karena itulah kemudian nilai-nilai pendidikan karakter yang dirumuskan berlandas tumpu pada nilai-nilai ilahiyah (religius). Nilai religius inilah yang selanjutnya menjadi embrio munculnya nilai-nilai karakter lainnya, baik domain nilai karakter yang berhubungan dengan individu maupun domain nilai karakter yang berhubungan dengan lingkungan sosial.

TGKH. M. Zainudin Abdul Madjid menggagas nilai-nilai pendidikan karakter dalam membangun karakter bangsa yang dikemas dalam syair-syair Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, yang kaya akan kandungan nilai-nilai pendidikan karakter. Dalam salah satu syairnya, TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid misalnya mengungkapkan:

Ya Subhanallah ajib bin heran
Sekarang mereka terputus iman
Karena lupanya kepada Tuhan
Yang telah menjamin di dalam Qur’an ( Bagian 1 Syair No 96)

Kalau diserahkan kepada mereka
Memimpin agama atau Negara
Maka kiamat agama kita
Sebelum kiamat Nusa dan Bangsa ( Bagian 1 Syair No 97)

Pada bait syair yang pertama, TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid menegaskan bahwa banyak manusia yang saat ini tidak lagi bertindak atas dasar iman, karena iman seolah telah hilang dari hatinya seiring dengan lunturnya eksistensi Tuhan di relung hatinya. Terkait persoalan ini dalam syair yang selanjutnya TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid kemudian mengemukakan bahwa jika sebuah komunitas dimotori oleh seorang yang jiwanya kosong dari rasa iman maka hancurlah komunitas tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan dalam syair tersebut bahwa jika agama dan negara dipimpin oleh seseorang yang tidak memiliki keimanan maka akan runtuhlah agama tersebut sebelum hancurnya nusa dan bangsa. Manusia diciptakan Tuhan agar selalu mengabdi kepada-Nya, bukan semata-mata terlahir ke dunia ini untuk memenuhi kebutuhan jasadiah saja. Akan tetapi manusia harus memenuhi kebutuhan ruhiyah yaitu sebagaimana mewujudkan keimanan yang bersih. Keimanan yang bersih tersebut dapat diwujudkan dengan menanamkan nilai-nilai rabbaniyah. 

Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru adalah salah satu di antara sekian banyak karya TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, karya ini cukup populer di kalangan NW karena karya ini merupakan wasiat yang sengaja ditujukan secara khusus kepada warga Nahdlatul Wathan. Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru merupakan sebuah karya yang terdiri dari kumpulan syair hasil renungan dan pengalaman hidup TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid. Syair-syair dalam karya ini terdiri dari tiga bagian. Pada bagian yang pertama terdapat 233 syair yang ditujukan kepada seluruh warga NW, kemudian pada bagian yang kedua terdapat 112 syair yang mengandung pesan untuk selalu bersatu memperjuangkan NW dan bagian yang terakhir merupakan wasiat tambahan yang terdiri dari 87 syair.

Gagasan nilai-nilai pendidikan karakter TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru terpartisi dalam 13 nilai yaitu (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Mandiri, (7) Kreatif, Gemar Membaca dan Rasa Ingin Tahu, (8) Cinta Tanah Air dan Semangat Kebangsaan, (9) Menghargai Prestasi, (10) Bersahabat/komunikatif, (11) Cinta Damai, (12) Peduli Sosial, dan (13) Tanggung Jawab.

Nilai-nilai pendidikan karakter yang ditawarkan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid memiliki relevansi yang kuat terhadap pendidikan di Indonesia yang saat ini dihadapkan pada persoalan degradasi moral. Degradasi moral ini nampaknya dipicu oleh orientasi pendidikan yang terjebak pada cognitive oriented yang selanjutnya menumbuhsuburkan irelevansi antara ilmu dan akhlak. Sejalan dengan hal tersebut, maka pendidikan sejatinya tidak hanya terbatas pada transformasi ilmu pengetahuan yang menjurus pada peningkatan kemampuan intelektual semata, tetapi juga berorientasi pada internalisasi nilai-nilai moral.

Dengan merefleksikan gagasan nilai-nilai karakter TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, maka para aktor pendidikan sejatinya menjadikan pendidikan karakter sebagai skala prioritas pembangunan pendidikan di negeri ini. Gagasan nilai karakter yang ditawarkan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru memiliki relevansi yang cukup kuat dalam konteks pendidikan Indonesia. Relevansi tersebut terekam jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia. Kedua kata kunci ini tentu saja sangat relevan dengan nilai religius yang menjurus pada ikhtiar untuk membangun sinergitas tiga ranah, kognitif-afektif-psikomotorik sebagai langkah dalam mendobrak irrelevansi antara ilmu dan akhlak (moralitas) siswa.


Minggu, 03 Februari 2013

REFLEKSI ATAS PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW


REFLEKSI ATAS PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Oleh: Ahmad Munadi


Muhammad pantas dikagumi
Jikalau kita membuka lembaran-lembaran sejarah umat Islam, tentu kita akan tertegun sekaligus merasa bangga kepada sosok panutan umat, sang reformis sejati yang telah berhasil mereformasi kehidupan manusia dengan membangun sebuah tatanan kehidupan yang etis dan egaletarian di atas pondasi keimanan yang tegak berdiri hingga hari ini.
Sejarah mencatat bahwa hingga detik ini, belum terdapat satu sosok manusia hebat yang mampu menandingi kebesaran dan kehebatan Muhammad, karena itulah kemudian tidak mengherankan jika Michael Hart dalam bukunya “The 100 a Ranking of the Most Influence person in History” memposisikan Muhammad pada Top Person deretan orang-orang hebat dan berpengaruh di dunia, bahkan Tuhan sendiri di dalam al Quran memuji kebesaran Muhammad, “..dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti agung (QS. Al Qalam: 3).
Banyak orang besar di dunia yang dipuja dan dikagumi bangsanya, namun justru bangsa lain tidak pernah merasa bangga kepadanya. Musthofa Kamal al Tatruk misalnya, dipuja dan dibesarkan oleh bangsa Turki serta disebut-sebut sebagai “bapak orang-orang Turki”, namun justru bangsa lain tidak pernah merasa bangga. Kirchof yang dipuja dan dibanggakan oleh orang-orang Rusia malah dianggap Amerika sebagai orang ‘gila’. Kennedy yang oleh Amerika disebut sebagai icon orang hebat, malah bangsa lain hanya memandangnya sebelah mata. Demikian seterusnya, tidak akan pernah ada sosok yang mampu menandingi kebesaran dan kehebatan Muhammad. Tidak ada orang hebat dalam sejarah dunia yang namanya dipampang di samping nama Tuhan, tapi Muhammad namanya selalu disandingkan dengan nama Tuhan, bahkan sholat tentu tidak akan sah tanpa menyebut nama Muhammad.
Alfa Edison dengan listriknya dikatakan sebagai orang yang berjasa dalam menerangi sudut gelap dunia. Mark Zuckerberg dengan facebook-nya mampu membangun sebuah peradaban “dunia maya” yang kekuatannya mampu menghubungkan manusia sejagat. Telkomsel dengan signalnya yang kuat mampu membangun jaringan komunikasi hingga ke pelosok negeri. Namun Muhammad dengan al Qura>nnya yang super hebat mampu membangun sebuah jaringan komunikasi yang luar biasa, bebas pulsa, bebas hambatan yang signalnya tidak hanya menembus komunikasi antar manusia sejagat, namun mampu membangun sebuah jaringan komunikasi dengan Tuhan. Dengan demikian sangat pantaslah Muhammad dipuja dan dibesar-besarkan tidak hanya oleh umatnya namun juga oleh seluruh umat di dunia ini.
Begitu besar sosok Muhammad sehingga tidak mengherankan kemudian jika kaum muslimin setiap kali memasuki bulan Rabiul Awal, senantiasa disibukkan dengan berbagai macam kegiatan religius sebagai sebuah wahana apresiasi terhadap sosok Muhammad yang notabenenya  merupakan sosok figur panutan umat yang patut diacungkan jempol, bahkan al Quran sendiri memuji keteladanan Muhammad “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu...” (QS. al Ahzab: 21).

Maulid Rasul antara harapan dan realita
Al Quran mengilustrasikan bahwa pristiwa-pristiwa yang terjadi masa silam bukanlah semata-mata sebuah kenangan yang hampa akan makna, namun lebih dari itu bahkan merupakan pristiwa-pristiwa sejarah yang sarat akan pelajaran dan ibrah, ...”ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (QS. al Hashr) dan pada ayat yang lain dikatakan “sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Yusuf: 111).
Demikianlah Allah mengilustrasikan bahwa pristiwa dan kejadian masa silam penuh dengan ibrah dan pelajaran yang tentu saja hendaknya dijadikan sebagai motivasi dan kekuatan baru untuk menatap masa depan yang lebih baik, namun sayang ternyata nilai-nilai yang seharusnya menjadi power  dan ruh pada moment-moment penting, seperti Maulid Nabi tersebut telah ternodai dan terkontaminasi oleh virus-virus hedonisme dan persaingan strata sosial.
Perayaan Maulid Nabi sesungguhnya pertama kali diperkenalkan oleh Shalahuddin al Ayyubi pada abad ke XII sebagai upaya membangkitkan semangat umat Islam yang kendor di tengah-tengah kehancuran ketika itu dengan meneladani semangat dan episode perjuangan Rasulullah melalui sebuah perayaan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa Maulid pertama kali dalam sejarah Islam diselenggarakan oleh penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir, yaitu Mu’iz Li Dinillah (341 H/953 M – 365 H/975 M). Al Sandubi seorang sejarawan mengemukakan bahwa perayaan maulid diselenggarakan oleh Muiz dimotivasi oleh keinginannya menjadi seorang penguasa yang populer di kalangan Syiah. Dalam menyelenggarakannya mereka memberikan hadiah kepada orang-orang tertentu seperti penjaga masjid, perawat makam, dan sebagainya.
Setelah Dinasti Fatimiyah, perayaan maulid selanjutnya dilakukan oleh orang-orang sunni yang ketika itu diselenggarakan oleh Sultan Atabek Nuruddin (569 H) yang merupakan seorang penguasa di Shuriah. Perayaan maulid ketika itu dilaksanakan pada malam hari dengan mendeklamasikan syair yang berisi puji-pujian kepada raja. Di Mosul (Irak) perayaan maulid dilaksanakan oleh seorang ulama yang bernama Umar al Malla. Perayaan maulid dilaksanakan setiap tahun dengan mengundang para tokoh masyarakat, ulama, dan fuqaha ke kediamannya. Sementara di Ibril (10 km dari Mosul), pada masa pemerintahan Muzafaruddin, perayaan maulid pertama kali dirayakan secara besar-besaran dan populer hingga ke berbagai daerah, sehingga setiap tahun perayaan ini selalu menarik perhatian orang-orang dari berbagai daerah.
Dalam perkembangan selanjutnya, perayaan maulid Nabi makin beragam corak dan warnanya, sesuai dengan perkembangan adat, tradisi, kondisi sosio-kultural masyarakat. Di Lombok umpamanya perayaan Maulid Nabi kental dengan tradisi praja, nyunatan, ngurisan dan beberapa tradisi lainnya. Jika dianalisa, perayaan Maulid Nabi di Pulau Lombok termotivasi 3 faktor: pertama: motivasi historis, secara historis umat Islam meyakini sepenuhnya legalitas Muhammad sebagai sosok figur yang berjasa membangun sebuah peradaban baru dengan melakukan sebuah reformasi yang fundamental terhadap tradisi jahiliyah yang ketika itu berada pada degradasi moral yang sangat memprihatinkan. Dalam kondisi tersebut, Muhammad selanjutnya bangkit dengan memformulasikan sebuah tatanan kehidupan yang etis dan egalitarian yang dibingkai dalam figura al Quran dan al Hadits. Dengan demikian, 12 Rabiul Awal merupakan tonggak sejarah yang memotivasi masyarakat untuk merayakan maulid Nabi sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas kehadiran beliau di tengah-tengah masyarakat dunia. Situasi dan kondisi umat yang semakin terpuruk akibat kontak budaya dan peradaban yang ‘menggila’, juga turut mengundang motivasi masyarakat untuk merayakan kelahiran Nabi sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh Shalahuddin al Ayyubi pada abad ke XII.
Kedua:  motivasi teologis, aspek teologis ternyata juga memiliki peran yang cukup strategis dalam memotivasi masyarakat merayakan maulid Nabi. Hal ini dapat dilihat dari fatwa-fatwa yang dikemukakan oleh para ulama madzhab Hanafi dan Maliki yang mengemukakan bahwa “diktum hukum yang ditetapkan dengan diktum tradisi sama dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum syar’i”. Hal yang  senada pernah juga diungkapkan oleh Syarakhsyi yang menyebutkan bahwa “menetapkan hukum dengan tradisi seolah-olah menetapkan hukum dengan nash”. Namun hukum yang ditetapkan berdasarkan tradisi tersebut sejatinya harus memiliki relevansi dan senafas dengan nilai-nilai al Quran dan al Hadits. Ketiga: motivasi filosofis-sosiologis, masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari kumpulan sekian banyak individu kecil maupun besar yang terikat oleh satuan adat, tradisi, hukum dan hidup bersama. Masyarakat akan dapat hidup tegak berdiri jika instrumen dalam masyarakat tersebut dapat berinteraksi dengan harmonis, tanpa adanya ketimpangan-ketimpangan sosial yang dapat menyuburkan benih-benih pertikaian. Dengan demikian, secara filosofis-sosiologis, perayaan maulid Nabi dapat dijadikan sebagai suplemen yang akan menggugah semangat serta sebagai pondasi yang akan memperkokoh bangunan ukhuwah masyarakat yang diwujudkan dalam sebuah kebersamaan.
Perayaan maulid Nabi yang sejatinya menjadi wahana instropeksi diri dan sekaligus sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas kepribadian dengan merenungi dan meneladani episode-episode perjuangan Nabi, ternyata tidak lebih hanya sekedar acara seremonial belaka. Bahkan jika dicermati lebih jauh, perayaan Maulid Nabi dewasa ini telah terkontaminasi dan ternodai oleh virus-virus isrof, hedonisme, hura-hura dan sebagainya. Virus-virus ini selanjutnya menjalar menggerogoti jiwa umat. Tradisi Maulid Nabi seperti ini tentu saja sudah sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai Islami yang sejatinya menjadi nafas perayaan tersebut. Padahal al Quran menegaskan “janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu  secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syaitan dan syaitan itu sesungguhnya sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS. al Isro: 26-27).
Virus-virus isrof, hedonisme, dan hura-hura yang menggerogoti masyarakat, muncul sebagai akibat semangat kompetitif yang berlebihan, sehingga hal tersebut selanjutnya berimbas pada sikap masyarakat yang tidak tanggung-tanggung mengeluarkan dana yang tidak sedikit demi merayakan Maulid Nabi. Ironisnya lagi, ada sebagian masyarakat yang rela berhutang demi merayakan maulid Nabi. Padahal perayaan tersebut tidak memberi dampak yang positif terhadap perubahan prilaku dan pola pikir yang sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi. Malah perayaan maulid Nabi ini lebih kepada bagaimana meningkatkan kuantitas “perut”, sehingga tidak mengherankan jika masyarakat (baca: Lombok) lebih populer bahkan ‘latah’ dengan istilah MULUT daripada MAULID, yang tentu saja konsekuensinya lebih kepada urusan perut. Lalu di mana esensi peringatan Maulid Nabi tersebut? Karena itulah kemudian perlu sebuah formulasi model perayaan Maulid Nabi yang lebih menggigit yang secara signifikan mampu memberi efek positif dalam mewujudkan masyarakat yang berkarakter. Wallahu A’lam.