ISLAM DAN SAINS
( Kajian terhadap pemikiran Pervez Hoodbhoy dan
Osman Bakar )
Oleh:
Ahmad Munadi
Pendahuluan
Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai Tibyânan li kulli syai’ wa hudan
wa busyro lil muslimîn, yang akan memberikan solusi terhadap segala persoalan
manusia, karena itulah kemudian manusia berkewajiban untuk memahami
petunjuk-petunjuk ( baca: al Quran ) tersebut.
Karakteristik yang membedakan Islam dengan lainnya adalah bahwa Islam
memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu (sains). Al Quran menyeru kaum
muslim untuk mencari dan memperoleh ilmu serta akan memberikan posisi yang
tinggi bagi mereka yang memiliki pengetahuan (lihat: QS. al Mujadalah), dengan
demikian tidak ada distorsi antara islam dan sains. Dalam islam, segala sesuatu
berpusat pada kesatuan Tuhan (tauhid) dan sains merupakan media efektif yang
akan menambah wawasan manusia akan eksistensi Tuhan. (Ghulsyani, 1996)
Korelasi al Quran dengan sains pada dasarnya menimbulkan debatable di
kalangan pemikir islam, Imam Ghazali misalnya mengatakan bahwa al Quran
mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan, namun tidak demikian dengan Imam
Syatibi yang mengatakan bahwa sahabat tentu lebih mengetahui kandungan al
Quran, akan tetapi tidak ada seorang sahabatpun yang menyimpulkan bahwa al Quran
mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan. (Shihab, 2003)
Terlepas dari persoalan tersebut di atas, timbul pertanyaan adakah sains
islam? Jika ada, bagaimana konstruksi metodologi sains islam tersebut? Dalam
hal ini banyak kalangan menyimpulkan bahwa sains itu hanya untuk sains, artinya
sains itu netral – tidak ada sains islam, sains kristen, sains Hindu,
sains Budha dan seterusnya - yang ditebengi oleh idiologi-idiologi tertentu,
sehingga sains islam hanyalah “hayalan” belaka, yang bertujuan untuk melakukan
“tebengisasi” islam dan sains dengan melakukan justifikasi sains dengan
dalil-dalil idiologi. Inilah yang kemudian menjadi kecurigaan para ilmuan
sementara ini.
Namun tentu saja naif kiranya jika kesimpulan tersebut di atas diamini
begitu saja tanpa melakukan analisis yang lebih mendalam. Oleh karena itu,
melalui tulisan ini akan dipaparkan sekilas persoalan tersebut dengan melakukan
kajian terhadap 2 referensi yang bersebrangan yaitu Ikhtiar Menegakan
Rasionalitas antara Sains dan Ortodoksi Islam karya Pervez Hoodbhoy dengan
sebuah karya dari Osman Bakar yang berjudul Tauhid dan Sains.
Pemikiran Pervez Hoodbhoy dan Osman Bakar: Sebuah
Analisis
Dalam bukunya Ikhtiar Menegakan Rasionalitas Antara Sains dan Ortodoksi
Islam, Hoodbhoy memberikan gambaran terkait memprihatinkannya kondisi sains
di dalam dunia islam. Hoodbhoy menuduh ortodoksi agama dan sikap intoleransi
menjadi faktor utama penyebab musnahnya lembaga pengetahuan islam yang pernah
jaya. Sehingga dengan begitu mudah juga melenyapkan budaya ilmiah di dunia
islam. Hoodbhoy mengatakan bahwa saat ini umat islam terjebak dalam kebekuan
abad pertengahan, menolak yang baru dan dengan frustasi terus bergantung pada
kejayaan masa silam. (Hoodbhoy, h. 23)
Lebih lanjut Hoodbhoy (Hoodbhoy, h. 24) mengatakan bahwa sekitar 700 tahun
lalu, peradaban islam hampir sepenuhnya telah kehilangan keinginan dan
kemampuan untuk memajukan sains walaupun banyak usaha-usaha yang pernah
dilakukan pada periode Utsmani di Turki dan Mohammad Ali di Mesir, namun semua itu
tidak mampu memulihkan kejayaan masa silam, bahkan sebagian kaum muslim tidak
merasakan penyesalan terhadap kondisi ini justru mensyukurinya karena menurut
mereka menjaga jarak dengan sains akan dapat memelihara islam dari pengaruh
sekuler.
Perkembangan ilmiah dan ideologi ( islam ) memiliki keterkaitan yang tidak
dapat dipisahkan, keabsahan kebenaran ilmiah ditentukan oleh hasil pengamatan,
percobaan dan logika, namun sifat sekuler sains ini bukan berarti
mengindikasikan bahwa sains tidak mengakui eksistensi tuhan. Para ilmuan bebas
menganut suatu agama sefanatik mungkin, akan tetapi sains tidak mengakui satu
hukum pun di luar dirinya, artinya sains bebas dari ideologi-ideologi tertentu.
Terkait persoalan ini, maka Hoodbhoy menuduh Nasr dan Sarder telah melakukan
pekerjaan yang merugikan sains di negara-negara islam bila mereka menyeru pada
“sains islami” yang dimotivasi secara religious, bukan secara kultural.
Hoodbhoy berpendapat bahwa hanya ada satu sains yang bersifat universal, tidak
ada sains Islam, sains Hindu, sains Kristen, sains Yahudi, dan sains Konghucu,
serta sains-sains lain yang ditunggangi ideologi-ideologi tertentu. Jika sains
ditunggangi ideologi islam misalnya akan sangat berbahaya, sebab bagaimana
mungkin islam yang mengandung kebenaran abadi disandingkan dengan teori sains
yang dapat berubah. Pemahaman tentang alam dapat berubah secara drastis sejalan
dengan waktu dan sains tentu saja tidak akan sungkan lagi meninggalkan teori
lama serta mendukung teori yang baru. (Hoodbhoy, h. 123-124) Jika hal ini
terjadi, tentu saja kitab suci (al Quran) tidak akan dianggap sebagai
sesuatu yang maha sakral sebagai petunjuk yang haqiqi, karena telah
bertentangan dengan realitas alam semesta.
Sementara itu, Osman Bakar dalam bukunya Tauhid & Sains pada
awal paragraf pendahuluan mengemukakan bahwa buku ini bertujuan untuk
menyuguhkan diskusi mendalam tentang hubungan antara agama dan sains. Ide utama
yang membentuk sifat dan corak hubungan tersebut adalah doktrin metafisika
Keesaan Allah (Tauhid). Inti agama adalah penerimaan doktrin dan pengamalan
nyata tauhid dalam semua domain kehidupan dan pemikiran manusia, sehingga
penciptaan sains oleh seorang muslim mestilah berkaitan secara signifikan
dengan doktrin tauhid. (Bakar, h. 29-30)
Dalam buku ini Osman menolak tegas anggapan bahwa sains islam tidaklah
logis dan tidak rasional. Untuk menguatkan argumennya, Osman mengkaji
perkembangan logika dan penggunaan metode eksperimen dan kemudian
membandingkannya dengan metafora Tuhan sebagai “pembuat jam”, dalam hal ini
Osman berusaha menunjukan bahwa observasi dan eksperimen muslim dibentuk atas
dasar kesadaran akan eksistensi tuhan. Islamitas atau islami dari sains islam,
muncul dari fakta bahwa spirit, kandungan pengetahuan, dan prakteknya
ditentukan terutama oleh ajaran Islam, sehingga pada tingkat realitas fisik,
kesadaran religious seorang muslim mmempengaruhi sikapnya terhadap realitas dan
kajian ilmiahnya terhadap realitas tersebut, sebab dunia fisik tidak memiliki
eksistensi yang berdiri sendiri akan tetapi selalu terkait dengan eksistensi
tuhan. (Bakar, h. 75)
Terkait islamisasi sains ini, sekelompok muslim kontemporer mempertanyakan
legitimasi istilah “ Sains Islam” dengan berargumen bahwa kaum muslim
masa lalu tidak pernah menggunakan istilah “sains islam” ketika mengacu pada
sains dalam peradaban islam. Untuk menjawab persoalan ini Osman mengatakan
bahwa, muslim masa lalu tidak menggunakan istilah ini disebabkan kebutuhan akan
hal ini belum muncul, sehingga penggunakan istilah “sains islam” akan muncul
manakala harus melakukan pembedaan yang tegas antara segala sesuatu yang
bersifat “islami” dengan yang “non islam”. (Bakar, h. 31)
Terkait masalah metodologi dalam sains islam, Osman mengatakan bahwa
berbicara tentang metodologi adalah berbicara tentang cara-cara atau
metode-metode yang digunakan manusia untuk bisa memperoleh pengetahuan tentang
realitas. (Bakar, h. 87) Apa yang dikemukakan Osman ini tentu saja
mengindikasikan bahwa seorang ilmuan memiliki keterkaitan yang erat dengan
objek kajiannya, objektivitas adalah bukan sekedar cara observasi empiris yang
bebas nilai, akan tetapi harus memiliki pijakan dalam sains terutama yang
berhubungan dengan realitas tertinggi (Tauhid), bukan sebagaimana yang terjadi
pada sains modern.
Dengan demikian, maka sains menurut Osman tidaklah bebas nilai dan juga
tidak sepenuhnya universal. (Bakar, h. 37)Apa yang dikemukakan Osman ini
nampaknya berbeda dengan apa yang dikemukakan Hoodbhoy. Lebih lanjut Osman
kemudian mengatakan bahwa secara praktis setiap aspek sains islam dibentuk
diwarnai oleh keyakinan dan sistem nilai islam. Sistem nilai ini tentu tidak
hanya berlaku bagi sains islam, akan tetapi berlaku juga pada peradaban
lainnya, termasuk juga sains Barat Modern.
Untuk membuktikan dimensi ganda sains ini, Osman mengemukakan bahwa, fakta
historis menunjukan tidak ada satu budaya atau peradaban tertentu yang
sepenuhnya mewarisi tradisi ilmiah dari para pendahulunya, apalagi seluruhnya.
Setiap budaya atau peradaban tentu akan selektif mewarisi tradisi ilmiah dari
pendahulunya dengan mengambil elemen-elemen yang sesuai dengan tata nilai
budayanya. Demikian pula dengan islam, tentu akan secara selektif mewarisi
peradaban Yunani, Cina, Persia, dan India. Demikian juga halnya dengan tradisi
ilmiah yang dikembangkan sains modern, akan selektif mewarisi tradisi ilmiah
peradaban islam. (Bakar, h. 38)
Penutup
Apa yang dianggap sebagai peradaban modern (sains modern) saat ini
merupakan sumbangan terbesar yang telah diberikan oleh peradaban islam. Namun
kesalahan terbesar yang dilakukan islam adalah ketidakmampuanya mengembangkan
tradisi sains tersebut, sehingga sampai saat ini terpuruk di tengah-tengah
kemajuan sains modern.
Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan sikap a priority complex di
kalangan kaum muslim dengan melakukan justifikasi terhadap perkembangan ilmiah
dewasa ini, sehingga muncul istilah “sains islam”. Istilah inipun kemudian
memunculkan diskusi panjang.
Penggunaan istilah “sains islam” ini dengan getol dikampanyekan Osman Bakar
dalam bukunya Tauhid & Sains, sementara itu di lain pihak justru Pervez
Hoodbhoy menolak penggunaan istilah “sains islam” tersebut, sebab sains dinilai
sebagai sesuatu yang bersifat universal dan bebas nilai.
Sebagai penutup tulisan ini dapat disimpulkan bahwa Osman Bakar dan Pervez
Hoodbhoy bersebrangan pemikiran terkait penggunaan istilah “Sains Islam”, namun
tidak ada distorsi pemikiran yang signifikan dalam hal pandangan islam terhadap
sains dan perkembangannya.
Daftar Pustaka
Mahdi
Ghulsyani, Filsafat-Sains menurut alQuran”,( Bandung : Mizan),
1996
M.
Quraish Shihab, Membumikan
al Quran, (Bandung : Mizan), 2003
Pervez
Hoodbhoy,“ Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas antara Sains dan Ortodoksi
Islam”, (Bandung: Mizan), 1996
Osman
Bakar , " Tauhid dan Sains “ (Bandung: Pustaka Hidayah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar