Pages

Rabu, 24 Oktober 2012


MENDOBRAK DEGRADASI MORAL MELALUI POLA RELASI EFEKTIF GURU-SISWA DALAM PEMBELAJARAN 

Oleh:
Ahmad Munadi




Pendidikan merupakan pijakan utama kemajuan suatu bangsa serta menjadi sebuah key word dalam membangun peradaban yang humanis, namun tentu saja semua ini tidak lepas dari peran manusia selaku lokomotif yang akan menggerakan rentetan gerbong pendidikan tersebut. Dengan demikian pendidikan dan manusia merupakan dua rangkaian mata rantai yang mempunyai peran yang cukup signifikan dalam menggerakan laju roda peradaban suatu bangsa. Namun di satu sisi ternyata permasalahan pendidikan cukup dilematis, pendidikan akan menuai kecaman dari masayarakat jika manusia-manusia yang dilahirkannya selalu menebar bencana dan membawa efek negatif bagi masyarakat.
Mengurai dinamika pendidikan dewasa ini, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan yang sejatinya menjadi agent of change saat ini justru telah mengalami pergeseran. Pendidikan tidak lagi menjadi power dalam upaya penanaman nilai-nilai humanis. Banyak faktor yang kemudian mengarah kepada model pendidikan yang diimplementasikan selama ini, yang selanjutnya diduga sebagai biang terjadinya degradasi moral, akibat terjadinya pergeseran orientasi pendidikan tersebut.
 Persoalan tersebut di atas sebagai akibat dari paradigma pendidikan yang dibangun terpusat pada level kuantitatif dan bermuara pada tingkat kelulusan sebuah lembaga pendidikan, bukan pada level kualitatif yang menyentuh ranah moralitas lulusan. Muhammad AR (2003) mengemukakan bahwa, orientasi materialistis dunia pendidikan - yang menyajikan kurikulum dengan membekali peserta didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang besar -  juga merupakan bentuk disorientasi pendidikan, sehingga aspek moralitas menjadi bagian yang kurang terjamah.
Isu sosial yang melanda bangsa ini, sebut saja permasalahan korupsi, kasus narkoba, tawuran pelajar, genk motor, demonstrasi yang berujung pada aksi anarkhis dan sebagainya, merupakan imbas dari kerancuan paradigma pendidikan tersebut. Dengan demikian sangat wajar kemudian pendidikan dianggap telah gagal membangun peradaban yang humanis. Sebab peradaban humanis akan terwujud manakala pendidikan moralitas terealisasi, sehingga isu sentral yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana membangun model pembelajaran yang berbasis moralitas.
Perkembangan individu sebagian besar berlangsung melalui proses belajar, apakah proses itu terjadi secara langsung maupun tidak langsung, terjadi secara ilmiah ataupun alamiah. Terkait belajar, para ahli pendidikan memberikan beragam definisi tentang makna belajar. Wetherington sebagaimana yang dikutip Nana Syaodih (2004) misalnya mengatakan bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola respons yang baru, yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan.
Mencermati formulasi rumusan definisi tersebut, maka belajar sesungguhnya mempunyai korelasi yang cukup signifikan terhadap perubahan-perubahan pada diri individu yang belajar, terlepas apakah perubahan tersebut mengarah pada hal yang positif ataupun sebaliknya, sehingga belajar tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, salah satu diantaranya adalah strategi pembelajaran atau pola interaksi yang dibangun antar guru dan siswa dalam proses belajar mengajar.
Paradigma pembelajaran konvensional yang diterapkan selama ini terkonsentrasi pada ranah kognitif, sehingga menghasilkan sebuah irelevansi kognisi dengan prilaku peserta didik.  Institusi pendidikan lebih menekankan kuantitas kelulusan, bukan pada kualitas kelulusan. Sehingga tidak mengherankan kemudian banyak melahirkan peserta didik yang cerdas secara akademik, namun bobrok dalam prilaku. Penekanan kuantitas lulusan terindikasi pada orientasi pendidikan yang cendrung mengarah pada peningkatan kemampuan intelektual peserta didik (cognitive oriented), bahkan kebanyakan praktisi pendidikan berasumsi jika aspek kognitif berhasil dikembangkan dengan baik, maka aspek afektif tentu akan berkembang positif. Namun, dalam implementasinya cognitive oriented ini justru tidak berbanding lurus dengan pengembangan aspek afektif atau internalisasi nilai-nilai karakter (moralitas) dalam pendidikan.
 Disorientasi pendidikan sebagaimana terurai di atas, sesungguhnya mengarah pada pergeseran pola relasi guru dan siswa dalam proses pembelajaran, sebab relasi guru dan siswa dalam pembelajaran yang dibangun selama ini terpola dalam relasi antar subyek-obyek, sehingga memunculkan komunikasi monologis antar guru-siswa. Karena itulah kemudian dibutuhkan sebuah paradigma baru dalam membangun pola relasi antar guru-siswa yang lebih dialogis.
Eksistensi manusia sesungguhnya terpartisi dalam tiga relasi, yaitu relasi subyek-obyek, relasi antar subyek, dan relasi subyek dengan Tuhan. Relasi subyek-obyek, mengarah pada sebuah pola interaksi manusia dengan obyek material, dan relasi subyek-obyek ini menghasilkan interaksi yang bersifat satu arah atau monologis (aktif-pasif). Subyek ketika berinteraksi dengan obyek pada pola relasi subyek-obyek (kognitif) memanfaatkan ranah kognisi, sehingga menghasilkan pengetahuan tentang obyek tersebut, yaitu antara “mengetahui” dan “diketahui”. Relasi berikutnya adalah, relasi antarsubyek, yaitu relasi sesama manusia yang selanjutnya menghasilkan pola relasi yang bersifat dua arah atau dialogis (aktif-aktif). Pada pola relasi ini terbangun komunikasi antar kesadaran, sehingga menghasilkan pengakuan, penghargaan, empati antar subyek. Relasi yang ketiga adalah, relasi subyek dengan Tuhan (trans-rekognitif), yaitu relasi ketundukan kepada sang Pencipta, dalam rangka membangun kepasrahan, ketundukan, serta ketaqwaan kepada Tuhan yang selanjutnya menghasilkan ketenangan bathin.
Dalam dunia pendidikan, model pembelajaran konvensional yang diterapkan selama ini, nampaknya mengadopsi model interaksi dengan pola relasi subyek-obyek (kognitif), sehingga komunikasi guru dan siswa bersifat satu arah, pembelajaran berpusat pada guru, gurulah yang menjadi pemeran utama, guru menjadi super hebat, bahkan guru menjadi maha kuasa dan maha mengetahui, sementara siswa hanya menjadi pendengar setia. Pola komunikasi monologis yang dibangun guru-siswa selama inilah yang kemudian menjadi embrio munculnya model pembelajaran pasif.
Interaksi manusia termasuk juga di dalamnya, proses interaksi guru-siswa, berkaitan dengan “makna”, “makna” muncul dalam setiap tindak komunikasi dan keterhubungan antar individu. Sementara komunikasi adalah tujuan, sehingga semua partisipan dalam tindak komunikasi adalah sejajar. Terkait pembelajaran pasif , Paulo Freire menyebutnya sebagai model pendidikan “gaya bank” dengan model deposito yaitu guru sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan pada siswa dan siswa hanya menerima, mencatat dan men-file semua yang disampaikan guru. Pendidikan model ini merupakan salah satu bentuk penindasan terhadap siswa karena telah mempetieskan daya nalar yang selanjutnya menghambat kreatifitas dan pengembangan potensi siswa.
Bertolakpijak pada narasi tersebut, maka konsep mengajar pun akhirnya mengalami pergeseran makna, di mana mengajar sebagaimana yang dikemukakan Kenneth D. Moore dalam Dede Rosyada diformulasikan sebagai sebuah tindakan dari seseorang untuk mencapai kemajuan dalam berbagai aspek seoptimal mungkin sesuai dengan potensinya. Pandangan ini bermuara pada sebuah paradigma bahwa tingkat keberhasilan mengajar bukan pada seberapa banyak ilmu yang disampaikan guru kepada siswa, tetapi seberapa besar guru memberi peluang pada siswa untuk belajar. Dengan demikian, iklim pembelajaran yang sejatinya dibangun adalah bagaimana kemudian guru dan siswa menempati posisi yang sama tanpa ada unsur menguasai dan dikuasai, sehingga melahirkan interaksi yang saling berterima antar subyek (guru-siswa) sebagaimana konsep yang dibangun berdasarkan model pembelajaran rekognitif yang menekankan aspek demokratisasi.   
Seiring dengan berhembusnya iklim demokrasi di negeri ini sudah saatnya dilakukan upaya serius untuk membumikan nilai-nilai demokrasi tersebut di kelas. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban akan  menumbuhkan semangat persaudaraan antara siswa, dan guru harus menjadi roh pembelajaran di kelas pada mata pelajaran apa pun. Interaksi guru dan siswa bukanlah sebagai subyek-obyek melainkan sebagai subyek-subyek yang sama-sama belajar membangun karakter jati diri dan kepribadian.
Penelitian menunjukan bahwa kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati dan kemampuan berkomunikasi berpengaruh 80% pada keberhasilan seseorang di masyarakat atau lebih besar di banding dengan kecerdasan otak yang hanya menyumbang 20% untuk keberhasilan seseorang.
Moral merupakan persoalan yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi adalah untuk membimbing manusia dan memberikan solusi terhadap berbagai persoalan kemanusiaan. Di antara  persoalan kemanusiaan yang melanda bangsa Indonesia saat ini adalah persoalan akhlak atau etika. Etika dan moralitas adalah puncak nilai keberagamaan seorang muslim dan sebagai indikator kesempurnaan iman seseorang. Hal ini sealur dengan apa yang dititahkan Rasul Muhammad SAW dalam sabdanya: Muslim yang paling sempurna imanya adalah mereka yang paling baik akhlaqnya” bahkan tujuan Nabi Muhammad SAW diutus adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” .
Miqdad Yaljin sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad AR mengatakan bahwa moral adalah setiap tingkah laku yang mulia, yang dilakukan oleh manusia dengan kemauan yang mulia dan untuk tujuan yang mulia pula. Lebih lanjut Miqdad mengatakan seseorang yang memiliki moral adalah manusia yang memiliki kemuliaan dalam hidupnya, lahir dan bathin. Terkait persolan tersebut, Ahmad bin Muhammad Sholeh mengatakan bahwa akhlak bukan saja suatu tindakan yang lahir (nyata), akan tetapi meliputi perasaan, pemikiran, dan niat baik secara individu maupun berkelompok.
 M. Athiyah al Abrasyi sebagaimana yang dikemukakan Zuhairini, mengatakan bahwa untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam dan mencapai akhlak yang sempurna merupakan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Dan bukanlah tujuan pendidikan dan pengajaran dalam rangka mengisi otak pelajar dengan informasi-informasi kering dan mengajar mereka dengan pelajaran yang belum diketahui.
Sejalan dengan narasi tersebut, maka pendidikan Islam sesungguhnya mengemban misi yang tidak hanya terbatas pada transformasi ilmu pengetahuan yang menjurus pada peningkatan kemampuan intelektual semata, tetapi juga internalisasi nilai-nilai spiritual religious dan moral etika, yang justru harus mendapat prioritas dan ditempatkan pada posisi tertinggi. Terkait persoalan ini, presiden menggulirkan Inpres No. 1 Tahun 2010 dengan menjadikan isu karakter bangsa sebagai skala prioritas pembangunan. Dalam inpres tersebut, presiden melalui program penguatan metodologi dan kurikulum menargetkan terimplikasinya uji coba kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.
Perbedaan yang kontras antar pendidikan masa lalu dengan masa kini adalah dimana pada masa lalu pendidikan banyak diarahkan kepada pembangunan karakter, sementara pendidikan masa kini lebih menekankan pada ketrampilan dan keahlian. Banyak ahli mencatat bahwa pendidikan selama ini hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berfikir dan cendrung mengabaikan kecerdasan rasa, budi dan batin. Konsep Taksonomi Bloom yang menjadi pijakan setiap guru selama ini, belum sepenuhnya teraplikasi sebab teknik evaluasi pada hasil belajar siswa seringkali diukur pada hasilnya tanpa melihat proses, sehingga yang diukur cenderung pada kemampuan kognitif saja. Dengan demikian, maka penekanan hasil belajar menjadi timpang. Banyak anak pintar akademisnya, tetapi memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diharapkan masyarakat.
Menganalisa perubahan nilai dalam konteks guru dan siswa, maka implikasinya  dalam pembelajaran adalah otoritas guru digugat. Otoritas mengarah pada sebuah pemahaman bahwa guru menjadi satu-satunya pemeran utama di kelas. Guru dengan otoritasnya berhak memaksa para siswa taat dan mengikuti idenya. Guru memiliki kekuasaan karena statusnya. Tetapi jika guru serta merta memaksakan sebuah nilai, hasilnya justru akan kontra produktif dalam rangka penanaman nilai. Nilai yang diyakini guru bisa saja mendapatkan tantangan. Dengan demikian maka  guru harus terbuka terhadap nilai-nilai yang baru. Harus terjadi dialog nilai antar guru dan siswa. Kemudian guru harus bisa mengambil posisi, bukan mengajarkan nilai yang sudah jadi, tetapi menjadi kawan agar siswa bisa mendapatkan nilai tertentu berdasarkan kemerdekaan pribadi siswa tersebut. Seiring kematangan siswa dalam mentransfer serta menginternalisasikan nilai. Dengan demikian ketaatan siswa terhadap guru dalam proses internalisasi nilaipun semakin longgar. Sehingga dari sini kemudian akan terlihat jelas implikasi pembelajaran rekognitif - yang menekankan pola relasi subyektivitas, di mana guru harus memposisikan siswa sebagai subyek dalam pembelajaran, bukan sebagai obyek - terhadap pembumian nilai-nilai akhlaq kepada peserta didik.
Persoalan tersebut di atas sekali lagi tidak lepas dari paradigma pembelajaran yang diterapkan selama ini, di mana relasi yang dibangun guru-siswa dalam interaksi belajar mengajar tidak efektif dalam membumikan nilai-nilai moral (akhlaq), sehingga terjadi irelevansi kognitif dengan prilaku siswa. Dengan demikian, perlu arah baru dalam proses pembelajaran di mana pola relasi antara guru-siswa  direkonstruksi dengan menempatkan guru-siswa pada posisi yang sejajar (relasi subyektifitas), sehingga dengan pola komunikasi ini akan memunculkan sikap yang saling berterima antar subyek. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar