MENDOBRAK DEGRADASI MORAL MELALUI POLA RELASI
EFEKTIF GURU-SISWA DALAM PEMBELAJARAN
Oleh:
Ahmad Munadi
Pendidikan merupakan pijakan
utama kemajuan suatu bangsa serta menjadi sebuah key word dalam
membangun peradaban yang humanis, namun tentu saja semua ini tidak lepas dari
peran manusia selaku lokomotif yang akan menggerakan rentetan gerbong
pendidikan tersebut. Dengan demikian pendidikan dan manusia merupakan dua
rangkaian mata rantai yang mempunyai peran yang cukup signifikan dalam
menggerakan laju roda peradaban suatu bangsa. Namun di satu sisi ternyata
permasalahan pendidikan cukup dilematis, pendidikan akan menuai kecaman dari
masayarakat jika manusia-manusia yang dilahirkannya selalu menebar bencana dan
membawa efek negatif bagi masyarakat.
Mengurai dinamika pendidikan
dewasa ini, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan yang sejatinya menjadi agent of
change saat ini justru telah mengalami pergeseran. Pendidikan tidak lagi menjadi power dalam upaya
penanaman nilai-nilai humanis. Banyak faktor yang kemudian mengarah kepada
model pendidikan yang diimplementasikan selama ini, yang selanjutnya diduga
sebagai biang terjadinya degradasi moral, akibat terjadinya pergeseran
orientasi pendidikan tersebut.
Persoalan tersebut di atas sebagai akibat dari
paradigma pendidikan yang dibangun terpusat pada level kuantitatif dan bermuara
pada tingkat kelulusan sebuah lembaga pendidikan, bukan pada level kualitatif
yang menyentuh ranah moralitas lulusan. Muhammad AR (2003) mengemukakan bahwa,
orientasi materialistis dunia pendidikan - yang menyajikan kurikulum dengan
membekali peserta didik untuk mampu mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang
besar - juga merupakan bentuk
disorientasi pendidikan, sehingga aspek moralitas menjadi bagian yang kurang
terjamah.
Isu sosial yang melanda
bangsa ini, sebut saja permasalahan korupsi, kasus narkoba, tawuran pelajar,
genk motor, demonstrasi yang berujung pada aksi anarkhis dan sebagainya,
merupakan imbas dari kerancuan paradigma pendidikan tersebut. Dengan demikian
sangat wajar kemudian pendidikan dianggap telah gagal membangun peradaban yang
humanis. Sebab peradaban humanis akan terwujud manakala pendidikan moralitas
terealisasi, sehingga isu sentral yang menjadi persoalan kemudian adalah
bagaimana membangun model pembelajaran yang berbasis moralitas.
Perkembangan individu
sebagian besar berlangsung melalui proses belajar, apakah proses itu terjadi
secara langsung maupun tidak langsung, terjadi secara ilmiah ataupun alamiah.
Terkait belajar, para ahli pendidikan memberikan beragam definisi tentang makna
belajar. Wetherington sebagaimana yang dikutip Nana Syaodih (2004) misalnya
mengatakan bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang
dimanifestasikan sebagai pola respons yang baru, yang berbentuk keterampilan,
sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan.
Mencermati formulasi rumusan
definisi tersebut, maka belajar sesungguhnya mempunyai korelasi yang cukup
signifikan terhadap perubahan-perubahan pada diri individu yang belajar,
terlepas apakah perubahan tersebut mengarah pada hal yang positif ataupun
sebaliknya, sehingga belajar tidak lepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya, salah satu diantaranya adalah strategi pembelajaran atau pola
interaksi yang dibangun antar guru dan siswa dalam proses belajar mengajar.
Paradigma pembelajaran
konvensional yang diterapkan selama ini terkonsentrasi pada ranah kognitif, sehingga
menghasilkan sebuah irelevansi kognisi dengan prilaku peserta didik. Institusi pendidikan lebih menekankan
kuantitas kelulusan, bukan pada kualitas kelulusan. Sehingga tidak mengherankan
kemudian banyak melahirkan peserta didik yang cerdas secara akademik, namun
bobrok dalam prilaku. Penekanan kuantitas lulusan terindikasi pada orientasi pendidikan
yang cendrung mengarah pada peningkatan kemampuan intelektual peserta didik (cognitive
oriented), bahkan kebanyakan praktisi pendidikan berasumsi jika aspek
kognitif berhasil dikembangkan dengan baik, maka aspek afektif tentu akan
berkembang positif. Namun, dalam implementasinya cognitive oriented ini
justru tidak berbanding lurus dengan pengembangan aspek afektif atau
internalisasi nilai-nilai karakter (moralitas) dalam pendidikan.
Disorientasi pendidikan sebagaimana terurai di
atas, sesungguhnya mengarah pada pergeseran pola relasi guru dan siswa dalam
proses pembelajaran, sebab relasi guru dan siswa dalam pembelajaran yang
dibangun selama ini terpola dalam relasi antar subyek-obyek, sehingga
memunculkan komunikasi monologis antar guru-siswa. Karena itulah kemudian
dibutuhkan sebuah paradigma baru dalam membangun pola relasi antar guru-siswa
yang lebih dialogis.
Eksistensi manusia sesungguhnya
terpartisi dalam tiga relasi, yaitu relasi subyek-obyek, relasi antar subyek,
dan relasi subyek dengan Tuhan. Relasi subyek-obyek, mengarah pada sebuah pola interaksi
manusia dengan obyek material, dan relasi subyek-obyek ini menghasilkan
interaksi yang bersifat satu arah atau monologis (aktif-pasif). Subyek ketika
berinteraksi dengan obyek pada pola relasi subyek-obyek (kognitif) memanfaatkan
ranah kognisi, sehingga menghasilkan pengetahuan tentang obyek tersebut, yaitu
antara “mengetahui” dan “diketahui”. Relasi berikutnya adalah, relasi
antarsubyek, yaitu relasi sesama manusia yang selanjutnya menghasilkan pola
relasi yang bersifat dua arah atau dialogis (aktif-aktif). Pada pola relasi ini
terbangun komunikasi antar kesadaran, sehingga menghasilkan pengakuan,
penghargaan, empati antar subyek. Relasi yang ketiga adalah, relasi subyek
dengan Tuhan (trans-rekognitif), yaitu relasi ketundukan kepada sang Pencipta,
dalam rangka membangun kepasrahan, ketundukan, serta ketaqwaan kepada Tuhan
yang selanjutnya menghasilkan ketenangan bathin.
Dalam dunia pendidikan, model
pembelajaran konvensional yang diterapkan selama ini, nampaknya mengadopsi
model interaksi dengan pola relasi subyek-obyek (kognitif), sehingga komunikasi
guru dan siswa bersifat satu arah, pembelajaran berpusat pada guru, gurulah
yang menjadi pemeran utama, guru menjadi super hebat, bahkan guru menjadi maha
kuasa dan maha mengetahui, sementara siswa hanya menjadi pendengar setia. Pola
komunikasi monologis yang dibangun guru-siswa selama inilah yang kemudian menjadi
embrio munculnya model pembelajaran pasif.
Interaksi manusia termasuk
juga di dalamnya, proses interaksi guru-siswa, berkaitan dengan “makna”, “makna”
muncul dalam setiap tindak komunikasi dan keterhubungan antar individu.
Sementara komunikasi adalah tujuan, sehingga semua partisipan dalam tindak
komunikasi adalah sejajar. Terkait pembelajaran pasif , Paulo Freire
menyebutnya sebagai model pendidikan “gaya bank” dengan model deposito yaitu
guru sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan pada siswa dan siswa hanya
menerima, mencatat dan men-file semua yang disampaikan guru. Pendidikan
model ini merupakan salah satu bentuk penindasan terhadap siswa karena telah
mempetieskan daya nalar yang selanjutnya menghambat kreatifitas dan
pengembangan potensi siswa.
Bertolakpijak pada narasi
tersebut, maka konsep mengajar pun akhirnya mengalami pergeseran makna, di mana
mengajar sebagaimana yang dikemukakan Kenneth D. Moore dalam Dede Rosyada diformulasikan
sebagai sebuah tindakan dari seseorang untuk mencapai kemajuan dalam berbagai
aspek seoptimal mungkin sesuai dengan potensinya. Pandangan ini bermuara pada
sebuah paradigma bahwa tingkat keberhasilan mengajar bukan pada seberapa banyak
ilmu yang disampaikan guru kepada siswa, tetapi seberapa besar guru memberi
peluang pada siswa untuk belajar. Dengan demikian, iklim pembelajaran yang
sejatinya dibangun adalah bagaimana kemudian guru dan siswa menempati posisi
yang sama tanpa ada unsur menguasai dan dikuasai, sehingga melahirkan interaksi
yang saling berterima antar subyek (guru-siswa) sebagaimana konsep yang dibangun
berdasarkan model pembelajaran rekognitif yang menekankan aspek demokratisasi.
Seiring dengan berhembusnya
iklim demokrasi di negeri ini sudah saatnya dilakukan upaya serius untuk
membumikan nilai-nilai demokrasi tersebut di kelas. Prinsip
kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban akan menumbuhkan semangat persaudaraan antara
siswa, dan guru harus menjadi roh pembelajaran di kelas pada mata pelajaran apa
pun. Interaksi guru dan siswa bukanlah sebagai subyek-obyek melainkan
sebagai subyek-subyek yang sama-sama belajar membangun karakter jati diri dan
kepribadian.
Penelitian menunjukan bahwa kemampuan bekerja sama,
kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati dan kemampuan
berkomunikasi berpengaruh 80% pada keberhasilan seseorang di masyarakat atau
lebih besar di banding dengan kecerdasan otak yang hanya menyumbang 20% untuk
keberhasilan seseorang.
Moral merupakan persoalan
yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Eksistensi Islam sebagai
sebuah ideologi adalah untuk membimbing manusia dan memberikan solusi terhadap
berbagai persoalan kemanusiaan. Di antara persoalan kemanusiaan yang melanda bangsa
Indonesia saat ini adalah persoalan akhlak atau etika. Etika dan moralitas
adalah puncak nilai keberagamaan seorang muslim dan sebagai indikator kesempurnaan iman seseorang. Hal ini sealur
dengan apa yang dititahkan Rasul Muhammad SAW dalam sabdanya: Muslim yang paling sempurna imanya
adalah mereka yang paling baik akhlaqnya” bahkan tujuan Nabi Muhammad SAW
diutus adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, “Sesungguhnya aku diutus
hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” .
Miqdad Yaljin sebagaimana
yang dikemukakan oleh Muhammad AR mengatakan bahwa moral adalah setiap tingkah
laku yang mulia, yang dilakukan oleh manusia dengan kemauan yang mulia dan
untuk tujuan yang mulia pula. Lebih lanjut Miqdad mengatakan seseorang yang
memiliki moral adalah manusia yang memiliki kemuliaan dalam hidupnya, lahir dan
bathin. Terkait persolan tersebut, Ahmad bin Muhammad Sholeh mengatakan bahwa
akhlak bukan saja suatu tindakan yang lahir (nyata), akan tetapi meliputi
perasaan, pemikiran, dan niat baik secara individu maupun berkelompok.
M. Athiyah al Abrasyi sebagaimana yang
dikemukakan Zuhairini, mengatakan bahwa untuk membantu pembentukan akhlak yang
mulia, Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam dan
mencapai akhlak yang sempurna merupakan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Dan
bukanlah tujuan pendidikan dan pengajaran dalam rangka mengisi otak pelajar
dengan informasi-informasi kering dan mengajar mereka dengan pelajaran yang
belum diketahui.
Sejalan dengan narasi tersebut, maka pendidikan Islam sesungguhnya mengemban misi yang tidak hanya
terbatas pada transformasi ilmu pengetahuan yang menjurus pada peningkatan
kemampuan intelektual semata, tetapi juga internalisasi nilai-nilai spiritual
religious dan moral etika, yang justru harus mendapat
prioritas dan ditempatkan pada posisi tertinggi. Terkait persoalan ini,
presiden menggulirkan Inpres No. 1 Tahun 2010 dengan menjadikan isu karakter
bangsa sebagai skala prioritas pembangunan. Dalam inpres tersebut, presiden melalui program
penguatan metodologi dan kurikulum menargetkan terimplikasinya uji coba
kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa
untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.
Perbedaan yang kontras antar
pendidikan masa lalu dengan masa kini adalah dimana pada masa lalu pendidikan
banyak diarahkan kepada pembangunan karakter, sementara pendidikan masa kini lebih
menekankan pada ketrampilan dan keahlian. Banyak ahli mencatat bahwa pendidikan
selama ini hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berfikir dan cendrung
mengabaikan kecerdasan rasa, budi dan batin. Konsep Taksonomi Bloom yang menjadi
pijakan setiap guru selama ini, belum sepenuhnya teraplikasi sebab teknik
evaluasi pada hasil belajar siswa seringkali diukur pada hasilnya tanpa melihat
proses, sehingga yang diukur cenderung pada kemampuan kognitif saja. Dengan
demikian, maka penekanan hasil belajar menjadi timpang. Banyak anak pintar akademisnya, tetapi memiliki perilaku yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai yang diharapkan masyarakat.
Menganalisa perubahan nilai dalam
konteks guru dan siswa, maka implikasinya dalam
pembelajaran adalah otoritas guru digugat. Otoritas mengarah pada sebuah pemahaman bahwa guru menjadi satu-satunya pemeran utama
di kelas. Guru dengan otoritasnya berhak memaksa para siswa taat dan mengikuti
idenya. Guru memiliki kekuasaan karena statusnya. Tetapi jika guru serta merta
memaksakan sebuah nilai, hasilnya justru akan kontra produktif dalam rangka
penanaman nilai. Nilai yang diyakini guru bisa saja mendapatkan tantangan. Dengan
demikian maka guru harus terbuka terhadap nilai-nilai yang baru. Harus
terjadi dialog nilai antar guru dan siswa. Kemudian guru harus bisa mengambil
posisi, bukan mengajarkan nilai yang sudah jadi, tetapi menjadi kawan agar
siswa bisa mendapatkan nilai tertentu berdasarkan kemerdekaan pribadi siswa
tersebut. Seiring kematangan siswa dalam mentransfer serta menginternalisasikan
nilai. Dengan demikian ketaatan siswa terhadap guru dalam proses internalisasi
nilaipun semakin longgar. Sehingga dari sini kemudian akan terlihat jelas
implikasi pembelajaran rekognitif - yang menekankan pola relasi subyektivitas,
di mana guru harus memposisikan siswa sebagai subyek dalam
pembelajaran, bukan sebagai obyek - terhadap pembumian nilai-nilai akhlaq
kepada peserta didik.
Persoalan tersebut di atas
sekali lagi tidak lepas dari paradigma pembelajaran yang diterapkan selama
ini, di mana relasi yang dibangun guru-siswa dalam interaksi belajar mengajar
tidak efektif dalam membumikan nilai-nilai moral (akhlaq), sehingga terjadi
irelevansi kognitif dengan prilaku siswa. Dengan demikian, perlu arah baru
dalam proses pembelajaran di mana pola relasi antara guru-siswa direkonstruksi dengan menempatkan guru-siswa
pada posisi yang sejajar (relasi subyektifitas), sehingga dengan pola
komunikasi ini akan memunculkan sikap yang saling berterima antar subyek. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar