REFLEKSI
ATAS PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW
Oleh: Ahmad Munadi
Muhammad pantas dikagumi
Jikalau kita membuka lembaran-lembaran sejarah umat
Islam, tentu kita akan tertegun sekaligus merasa bangga kepada sosok panutan
umat, sang reformis sejati yang telah berhasil mereformasi kehidupan manusia
dengan membangun sebuah tatanan kehidupan yang etis dan egaletarian di atas
pondasi keimanan yang tegak berdiri hingga hari ini.
Sejarah mencatat bahwa hingga detik ini, belum terdapat
satu sosok manusia hebat yang mampu menandingi kebesaran dan kehebatan
Muhammad, karena itulah kemudian tidak mengherankan jika Michael Hart dalam
bukunya “The 100 a Ranking of the Most Influence person in History” memposisikan
Muhammad pada Top Person deretan orang-orang hebat dan berpengaruh di
dunia, bahkan Tuhan sendiri di dalam al Quran memuji kebesaran Muhammad, “..dan
sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti agung (QS. Al Qalam:
3).
Banyak orang besar di dunia yang dipuja dan dikagumi
bangsanya, namun justru bangsa lain tidak pernah merasa bangga kepadanya.
Musthofa Kamal al Tatruk misalnya, dipuja dan dibesarkan oleh bangsa Turki
serta disebut-sebut sebagai “bapak orang-orang Turki”, namun justru bangsa lain
tidak pernah merasa bangga. Kirchof yang dipuja dan dibanggakan oleh
orang-orang Rusia malah dianggap Amerika sebagai orang ‘gila’. Kennedy yang
oleh Amerika disebut sebagai icon orang hebat, malah bangsa lain hanya
memandangnya sebelah mata. Demikian seterusnya, tidak akan pernah ada sosok
yang mampu menandingi kebesaran dan kehebatan Muhammad. Tidak ada orang hebat
dalam sejarah dunia yang namanya dipampang di samping nama Tuhan, tapi Muhammad
namanya selalu disandingkan dengan nama Tuhan, bahkan sholat tentu tidak akan
sah tanpa menyebut nama Muhammad.
Alfa Edison dengan listriknya dikatakan sebagai orang
yang berjasa dalam menerangi sudut gelap dunia. Mark Zuckerberg dengan facebook-nya
mampu membangun sebuah peradaban “dunia maya” yang kekuatannya mampu
menghubungkan manusia sejagat. Telkomsel dengan signalnya yang kuat mampu
membangun jaringan komunikasi hingga ke pelosok negeri. Namun Muhammad dengan
al Qura>nnya yang super hebat mampu membangun sebuah jaringan komunikasi
yang luar biasa, bebas pulsa, bebas hambatan yang signalnya tidak hanya
menembus komunikasi antar manusia sejagat, namun mampu membangun sebuah
jaringan komunikasi dengan Tuhan. Dengan demikian sangat pantaslah Muhammad
dipuja dan dibesar-besarkan tidak hanya oleh umatnya namun juga oleh seluruh
umat di dunia ini.
Begitu besar sosok Muhammad sehingga tidak mengherankan
kemudian jika kaum muslimin setiap kali memasuki bulan Rabiul Awal, senantiasa
disibukkan dengan berbagai macam kegiatan religius sebagai sebuah wahana
apresiasi terhadap sosok Muhammad yang notabenenya merupakan sosok figur
panutan umat yang patut diacungkan jempol, bahkan al Quran sendiri memuji
keteladanan Muhammad “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri
tauladan yang baik bagimu...” (QS. al Ahzab: 21).
Maulid Rasul antara harapan dan realita
Al Quran mengilustrasikan bahwa pristiwa-pristiwa yang
terjadi masa silam bukanlah semata-mata sebuah kenangan yang hampa akan makna,
namun lebih dari itu bahkan merupakan pristiwa-pristiwa sejarah yang sarat akan
pelajaran dan ibrah, ...”ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran,
hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (QS. al Hashr) dan pada ayat yang
lain dikatakan “sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Yusuf: 111).
Demikianlah Allah mengilustrasikan bahwa pristiwa dan
kejadian masa silam penuh dengan ibrah dan pelajaran yang tentu saja hendaknya
dijadikan sebagai motivasi dan kekuatan baru untuk menatap masa depan yang
lebih baik, namun sayang ternyata nilai-nilai yang seharusnya menjadi power
dan ruh pada moment-moment penting, seperti Maulid Nabi tersebut
telah ternodai dan terkontaminasi oleh virus-virus hedonisme dan persaingan
strata sosial.
Perayaan Maulid Nabi sesungguhnya pertama kali
diperkenalkan oleh Shalahuddin al Ayyubi pada abad ke XII sebagai upaya
membangkitkan semangat umat Islam yang kendor di tengah-tengah kehancuran
ketika itu dengan meneladani semangat dan episode perjuangan Rasulullah melalui
sebuah perayaan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa Maulid pertama kali dalam
sejarah Islam diselenggarakan oleh penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir, yaitu
Mu’iz Li Dinillah (341 H/953 M – 365 H/975 M). Al Sandubi seorang sejarawan
mengemukakan bahwa perayaan maulid diselenggarakan oleh Muiz dimotivasi oleh
keinginannya menjadi seorang penguasa yang populer di kalangan Syiah. Dalam
menyelenggarakannya mereka memberikan hadiah kepada orang-orang tertentu
seperti penjaga masjid, perawat makam, dan sebagainya.
Setelah Dinasti Fatimiyah, perayaan maulid selanjutnya
dilakukan oleh orang-orang sunni yang ketika itu diselenggarakan oleh Sultan
Atabek Nuruddin (569 H) yang merupakan seorang penguasa di Shuriah. Perayaan
maulid ketika itu dilaksanakan pada malam hari dengan mendeklamasikan syair
yang berisi puji-pujian kepada raja. Di Mosul (Irak) perayaan maulid
dilaksanakan oleh seorang ulama yang bernama Umar al Malla. Perayaan maulid
dilaksanakan setiap tahun dengan mengundang para tokoh masyarakat, ulama, dan fuqaha
ke kediamannya. Sementara di Ibril (10 km dari Mosul), pada masa pemerintahan
Muzafaruddin, perayaan maulid pertama kali dirayakan secara besar-besaran dan
populer hingga ke berbagai daerah, sehingga setiap tahun perayaan ini selalu
menarik perhatian orang-orang dari berbagai daerah.
Dalam perkembangan selanjutnya, perayaan maulid Nabi
makin beragam corak dan warnanya, sesuai dengan perkembangan adat, tradisi,
kondisi sosio-kultural masyarakat. Di Lombok umpamanya perayaan Maulid Nabi
kental dengan tradisi praja, nyunatan, ngurisan dan beberapa tradisi
lainnya. Jika dianalisa, perayaan Maulid Nabi di Pulau Lombok termotivasi 3
faktor: pertama: motivasi historis, secara historis umat Islam
meyakini sepenuhnya legalitas Muhammad sebagai sosok figur yang berjasa
membangun sebuah peradaban baru dengan melakukan sebuah reformasi yang
fundamental terhadap tradisi jahiliyah yang ketika itu berada pada degradasi
moral yang sangat memprihatinkan. Dalam kondisi tersebut, Muhammad selanjutnya
bangkit dengan memformulasikan sebuah tatanan kehidupan yang etis dan
egalitarian yang dibingkai dalam figura al Quran dan al Hadits. Dengan
demikian, 12 Rabiul Awal merupakan tonggak sejarah yang memotivasi masyarakat
untuk merayakan maulid Nabi sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas kehadiran
beliau di tengah-tengah masyarakat dunia. Situasi dan kondisi umat yang semakin
terpuruk akibat kontak budaya dan peradaban yang ‘menggila’, juga turut
mengundang motivasi masyarakat untuk merayakan kelahiran Nabi sebagaimana yang
telah dilakukan sebelumnya oleh Shalahuddin al Ayyubi pada abad ke XII.
Kedua: motivasi
teologis, aspek teologis ternyata juga memiliki peran yang cukup strategis
dalam memotivasi masyarakat merayakan maulid Nabi. Hal ini dapat dilihat dari
fatwa-fatwa yang dikemukakan oleh para ulama madzhab Hanafi dan Maliki yang
mengemukakan bahwa “diktum hukum yang ditetapkan dengan diktum tradisi sama
dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum syar’i”. Hal yang
senada pernah juga diungkapkan oleh Syarakhsyi yang menyebutkan bahwa
“menetapkan hukum dengan tradisi seolah-olah menetapkan hukum dengan nash”.
Namun hukum yang ditetapkan berdasarkan tradisi tersebut sejatinya harus
memiliki relevansi dan senafas dengan nilai-nilai al Quran dan al Hadits. Ketiga:
motivasi filosofis-sosiologis, masyarakat merupakan sebuah sistem yang
terdiri dari kumpulan sekian banyak individu kecil maupun besar yang terikat
oleh satuan adat, tradisi, hukum dan hidup bersama. Masyarakat akan dapat hidup
tegak berdiri jika instrumen dalam masyarakat tersebut dapat berinteraksi
dengan harmonis, tanpa adanya ketimpangan-ketimpangan sosial yang dapat
menyuburkan benih-benih pertikaian. Dengan demikian, secara
filosofis-sosiologis, perayaan maulid Nabi dapat dijadikan sebagai suplemen yang
akan menggugah semangat serta sebagai pondasi yang akan memperkokoh bangunan
ukhuwah masyarakat yang diwujudkan dalam sebuah kebersamaan.
Perayaan maulid Nabi yang sejatinya menjadi wahana
instropeksi diri dan sekaligus sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas
kepribadian dengan merenungi dan meneladani episode-episode perjuangan Nabi,
ternyata tidak lebih hanya sekedar acara seremonial belaka. Bahkan jika
dicermati lebih jauh, perayaan Maulid Nabi dewasa ini telah terkontaminasi dan
ternodai oleh virus-virus isrof, hedonisme, hura-hura dan sebagainya.
Virus-virus ini selanjutnya menjalar menggerogoti jiwa umat. Tradisi Maulid
Nabi seperti ini tentu saja sudah sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai
Islami yang sejatinya menjadi nafas perayaan tersebut. Padahal al Quran
menegaskan “janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syaitan dan syaitan itu
sesungguhnya sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS. al Isro: 26-27).
Virus-virus isrof, hedonisme, dan hura-hura yang
menggerogoti masyarakat, muncul sebagai akibat semangat kompetitif yang
berlebihan, sehingga hal tersebut selanjutnya berimbas pada sikap masyarakat
yang tidak tanggung-tanggung mengeluarkan dana yang tidak sedikit demi
merayakan Maulid Nabi. Ironisnya lagi, ada sebagian masyarakat yang rela
berhutang demi merayakan maulid Nabi. Padahal perayaan tersebut tidak memberi
dampak yang positif terhadap perubahan prilaku dan pola pikir yang sesuai
dengan apa yang dicontohkan Nabi. Malah perayaan maulid Nabi ini lebih kepada
bagaimana meningkatkan kuantitas “perut”, sehingga tidak mengherankan jika
masyarakat (baca: Lombok) lebih populer bahkan ‘latah’ dengan istilah MULUT
daripada MAULID, yang tentu saja konsekuensinya lebih kepada urusan perut. Lalu
di mana esensi peringatan Maulid Nabi tersebut? Karena itulah kemudian perlu
sebuah formulasi model perayaan Maulid Nabi yang lebih menggigit yang secara
signifikan mampu memberi efek positif dalam mewujudkan masyarakat yang
berkarakter. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar