Pages

Rabu, 24 Oktober 2012

MASUK DAN BERKEMBANGNYA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (MENENGOK PERKEMBANGAN PESANTREN SEBAGAI CENTRAL PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA)
   
Oleh : Ahmad Munadi   
   

Pendahuluan

Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang dan begitu kompleks, sehingga banyak kemudian memunculkan persoalan-persoalan dalam lingkaran historis perjalanan Islam tersebut. Proses masuknya Islam di Nusantara misalnya, banyak memunculkan debatable di kalangan sejarawan. Perdebatan ini menurut Sunanto dikarenakan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pada masa awal tersebut tidak bertendensi apapun selain bertanggung jawab dan menunaikan kewajiban.  Dengan demikian sangat wajar kemudian jika para aktor sejarah ketika itu tidak membuat catatan sejarah yang mengabadikan peran mereka dalam perjalanan sejarah Islam di Nusantara.

Jejak sejarah yang ditorehkan Islam di Bumi Nusantara sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari perkembangan pendidikan Islam di Indonesia . Tepatnya, perkembangan pendidikan Islam memiliki usia yang hampir sama dengan sejarah perjalanan Islam di Indonesia, bahkan dalam konteks ini, Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemeluk agama Islam yang kala itu masih tergolong baru, maka sudah pasti akan mempelajari dan memahami tentang ajaran-ajaran Islam. Meski dalam pengertian sederhana, namun proses pembelajaran waktu itu telah terjadi. Dari sinilah kemudian mulai timbul pendidikan Islam. Di mana pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. 

Dalam perjalanannya, Pendidikan Islam di Indonesia telah melalui tiga tahapan. Tahapan pertama berlangsung pada awal masuknya Islam di Indonesia. Periode ini ditandai dengan perkembangan pesantren. Sementara tahapan kedua berlangsung semenjak munculnya ide-ide pembaharuan yang ditandai dengan lahirnya madrasah kemudian selanjutnya tahapan yang ketiga pendidikan Islam telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.

Melalui tulisan ini, penulis tidak akan menjelajahi fase-fase perjalanan historis pendidikan Islam secara menyeluruh, spesifik dan mendalam, akan tetapi tulisan ini hanya akan diarahkan untuk melihat potret pendidikan Islam pada tahap masuknya Islam di Indonesia dengan munculnya “pesantren” dan tahap kedua, masa pembaharuan dengan munculnya “madrasah”. Dengan demikian, maka apa yang dipaparkan dalam tulisan ini sesungguhnya tidak secara representatif kemudian mewakili sejarah perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia secara komprehensif dan mendalam.
 
Masuk dan Berkembangnya Pendidikan Islam di Indonesia

1.    Masuknya Islam di Nusantara sebagai awal masuknya Pendidikan Islam di Indonesia
Untuk menganalisis masuknya pendidikan Islam di Indonesia, maka sangat tepat kiranya jika menelusuri proses masuknya Islam di bumi Nusantara tersebut, sebab pendidikan Islam di Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang sama dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Informasi tentang Islam di bumi Nusantara telah diterima sejak orang Vanesia (Italia) yang bernama Marcopolo singgah di kota Perlak dan menerangkan bahwa sebagian besar penduduknya telah beragama Islam.  Namun yang menjadi persoalan kemudian adalah kapan tepatnya Islam masuk ke Indonesia. Persoalan ini muncul akibat tidak adanya catatan sejarah yang menjelaskan secara otentik prosesi masuknya Islam di Indonesia. Kerabunan fakta sejarah inilah yang kemudian menimbulkan debatable yang cukup alot di kalangan para sejarawan, sehingga akhirnya memunculkan beberapa teori masuknya Islam di Indonesia.

Berdebatan seputar masuknya Islam di Nusantara pada umumnya  dipartisi menjadi tiga teori yaitu: 1) Pendapat pertama dipelopori oleh  sarjana-sarjana orientalis Belanda, di antaranya  Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam Sultan yang beragama Islam pertama Malik as Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat ; 2) Pendapat kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, di antaranya Prof. Hamka, yang megadakan seminar Sejarah masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963. Hamka dan teman-temanya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (± abad 7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke 13 (yaitu sudah ada sejak abad 7 M) melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayah di Asia Barat; 3) Pendapat ketiga dikemukakan oleh sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah yang mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya bahwa memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad ke 7 M tetapi baru dianut oleh pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke 13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Bagdad ibu kota Abasyiah oleh Hulagu. Kehancuran Bagdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara. . Di samping itu, ada yang menyebutkan bahwa ketiga teori  yang dimaksud adalah teori Gujarat, teori Persia, dan teori Arabia. 

Berdasarkan analisis para ahli, teori Gujarat dinilai memiliki kelemahan sehingga banyak para sejarawan kemudian “menelanjangi” teori tersebut dari berbagai aspek, Ahmad Mansyur Suryanegara misalnya mengatakan bahwa teori Gujarat ini hanyalah pembelokan sejarah. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa pra Rasulullah para pedagang Arab sudah berhubungan dengan Indonesia hal ini dapat dilihat dari sejumlah literatur sejarah yang berasal dari Cina, India, dan Arab. Di samping itu, Gujarat dikenal sebagai pusat Syiah, sementara Samudra Pasai adalah bermadzhab ahli sunnah, dengan demikian maka sangat keliru jika Islam dibawa dari Gujarat. Penyebaran Islam di bumi Nusantara dilakukan oleh para pedagang muslim yang melakukan kontak dagang dengan penduduk setempat. Pedagang muslim ketika itu melakukan penyebaran Islam melalui beberapa jalur seperti perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.  Di samping itu penyebaran Islam juga sangat efektif dengan kekuasaan para penguasa yang sudah memeluk Islam. Dengan masuknya penguasa ke dalam Islam maka secara otomatis akan diikuti oleh rakyatnya dan tidak menutup kemungkinan akan diikuti juga oleh penguasa lainnya.

Faktor penting yang telah mendorong proses Islamisasi di bumi Nusantara di antaranya disebabkan oleh: 1) portabilitas sistem keimanan Islam; sistem keimanan siap pakai dan berlaku  di mana pun sehingga sesuai bagi para pemeluk yang dinamis, hal ini berbeda dengan sistem kepercayaan lokal yang berpusat pada penyembahan arwah nenek moyang; 2) asosiasi Islam dengan kekayaan ; para pendakwah adalah saudagar-saudagar kaya raya yang tidak hanya terlibat dalam bidang perdagangan , tetapi juga dalam boidang politik dan diplomatik; dan 3) introduksi kebudayaan peradaban literasi yang relativ universal. Introduksi ini berhasil membangun semangat rasionalisme dan intelektualisme bukan saja di kalangan kraton, tetapi juga di kalangan rakyat jelata,  4) Kejayaan militer; 5) Memperkenalkan tulisan; 6) Mengajarkan penghafalan; 7) Kepandaian dalam penyembuhan; 8) Pengajaran tentang moral.

Sikap keberterimaan masyarakat Nusantara akan kedatangan Islam sebagaimana dikemukakan tersebut di atas secara otomatis membentuk budaya tarbiyah di kalangan masyarakat. Pada tahap awal ini pendidikan Islam berlangsung secara informal di mana para da’i memberikan konsep-konsep pendidikan yang bersifat aplikatif dalam bentuk sikap, prilaku yang menjadi tauladan dalam kehidupan sehari-hari hingga akhirnya proses pembelajaran dipusatkan  di rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. Keindahan sikap dan prilaku para da’i inilah yang kemudian menjadi daya pikat masyarakat untuk melakukan konversi besar-besaran ke dalam Islam hingga akhirnya terbentuklah komunitas dan selanjutnya muncul kerajaan Islam, tetapi ada juga di sebagian daerah di mana para Muballigh terlebih dahulu mengIslamkan penguasa setempat, dan dengan demikian masyarakat atau rakyatnya memeluk Agama Islam seperti yang terjadi di Kerajaan Malaka. 
 
Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia: Menengok Perkembangan Pesantren di Indonesia

Pendidikan merupakan elemen penting dalam membangun sebuah peradaban, karena itulah kemudian sejak awal perkembangan Islam, pendidikan menjadi prioritas utama masyarakat muslim. Melalui pendidikan tentu saja masyarakat muslim dapat lebih leluasa melakukan Islamisasi di bumi Nusantara. Proses Islamisasi ini dilakukan melalui pengajaran Islam di berbagai tempat seperti masjid, surau, musholla bahkan di rumah para ulama. Pendidikan Islam pada awal perkembangannya di Indonesia dilakukan dengan menggunakan sistem halaqah dengan menjadikan berbagai tempat sebagai pusat kegiatan pendidikan. Sistem pengajaran Islam pada masa awal ini dilakukan dengan mengadopsi lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada. Di Jawa misalnya, umat Islam mengadopsi lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren,  di Minangkabau mengambil alih surau  sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam dan demikian pula masyarakat Aceh yang mentransfer lembaga masyarakat meunasah  sebagai lembaga Pendidikan Islam . Walaupun menggunakan istilah yang berbeda-beda, pusat-pusat pendidikan tersebut sesungguhnya memiliki substansi yang sama dengan model pendidikan pesantren kendati istilah pesantren lebih populer di pulau jawa.

Secara historis lembaga pendidikan pesantren tidak dapat dipisahkan dari kultur masyarakat Indonesia. Pesantren dari sudut historis-kultural dapat dikatakan sebagai training Center yang secara otomatis menjadi Culture Center. Yasmadi mengemukakan bahwa pesantren merupakan istilah yang berasal dari kata “santri” dengan awalan pe- di depan dan akhiran –an yang berarti “tempat tinggal” . Prasodjo sebagaimana yang dikemukakan Bawani mendefinisikan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara non klasikal di mana seorang kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada para santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan sebuah lembaga yang cukup unik jika ditinjau dari sistem pendidikannya. Karena keunikan inilah yang kemudian menyebabkan begitu sulitnya memberikan definisi yang representatif untuk pesantren. Namun jika menganalisa lebih jauh beberapa definisi yang dirumuskan para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang terdiri dari beberapa komponen dan komponen-komponen inilah yang selanjutnya menjadi indikator sebuah lembaga pendidikan dikatakan sebagai pesantren. Komponen-komponen tersebut meliputi: pondok, masjid, pengajaran kitab klasik, santri dan kyai.

Secara historis, pesantren dinilai tidak hanya mengemban misi dan mengandung nuansa keIslaman, tetapi juga menjaga nuansa keaslian (indigenious) Indonesia karena lembaga sejenis telah berdiri sejak masa Hindu-Budha, sedangkan pesantren tinggal meneruskan dan mengIslamkan saja.  Pada abad ke 15 M, pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama Islam, di antaranya walisongo. Dalam menyebarkan Islam mereka mendirikan masjid dan asrama untuk santri. Di Ampel Denta Sunan Ampel telah mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu para pemuda Islam. Model pengajaran yang diterapkan dalam pesantren adalah non klsikal dengan sistem halaqah. Adapun materi yang diajarkan adalah ilmu-ilmu keIslaman yang bersumber dari kitab klasik atau sering diistilahkan dengan kutub al muqarrarah atau populer juga dengan istilah “kitab kuning” atau “kitab gundul” karena kitab-kitab tersebut umumnya tidak memiliki syakal/harakat . Selanjutnya metode yang digunakan cukup variatif. Arifin menyebutkan lima model yang umumnyaa diterapkan di pesantren yaitu: metode wetonan, sorogan/bandongan, Muhawarah, Mudzakarah . sementara Dirjen Kelembagaan Agama Islam menyebutkan 6 metode yaitu: sorogan/bandongan, wetonan, Bahtsul masail, pengajian pusaran, muhafazhah dan metode praktek ibadah.

Mahmud Yunus mengemukakan bahwa isi pendidikan Islam Pondok Pesantren terutama pada masa perubahan (1900-1908) meliputi: 1) pengajian al Quran; 2) pengajian kitab yang terdiri dari beberapa tingkat, yaitu: a) nahwu, sharf, fiqih dengan memakai kitab al Jurmiyah, matan al Bina, Fathul Qarib dan sebagainya; b) tauhid, nahwu, shorf dan fiqih dengan memakai kitab Sanusi, syaikh Khalid (Azhari, ;Asymawi), Kailani, Fathul Mu’in dan sebagainya; c) tauhid, nahwu, shorf, fiqih, tafsir dan lain-lain dengan memakai kitab Kifayatul Awwam, Ibnu ‘Aqil, Mahalli, Jalalain/Baidlawi dan sebagainya.

Berdasarkan beberapa narasi tersebut di atas, maka dapat difahami bahwa inti dari pendidikan Islam pada masa awal adalah pengajaran ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan pada pesantren – termasuk juga di dalamnya seperti langgar, masjid, surau  dan sebagainya - dengan membaca kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini menjadi ukuran tinggi rendahnya ilmu agama seseorang. Kondisi ini tentu saja sangat kontras dengan kebijakan pendidikan barat yang dikampanyekan pemerintah kolonialisme Belanda hingga akhirnya memunculkan ide pembaharuan dalam pendidikan Islam.

Respon masyarakat pada aspek pendidikan terhadap kebijakan kolonialisme abad XX dapat dilihat dari dua sisi, yang pertama tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat sebagai kunsekuensi dari persentuhan dengan ide-ide pembaharuan Islam. Kedua respon masyarakat secara langsung terhadap kebijakan pendidikan pemerintah kolonial.  Asumsi ini sebagaimana yang dikemukakan Suwendi didasarkan pada pertimbangan bahwa pertumbuhan dan perkembangan madrasah di awal abad XX merupakan bagian dari gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yang memiliki kontak yang cukup intensif dengan pembaharuan di Timur Tengah. Sementara itu disisi lain, tradisi pendidikan Islam di Indonesia tidak sepenuhnya khas Indonesia kecuali hanya mengadopsi tradisi pendidikan yang telah ada, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pertumbuhan madrasah di Indonesia merupakan bentuk penyesuaian dari tradisi persekolahan yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial.

Ide pembaharuan pada abad ke 20 M tersebut dimotivasi oleh faktor: 1) keinginan untuk kembali kepada al Quran dan al Hadits; 2) semangat nasionalisme dalam melawan penjajah; 3) untuk memperkuat basis kekuatan gerakan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Dalam perkembangan selanjutnya, usaha pembaharuan di Indonesia menimbulkan ketegangan antara kaum tua (konservatif) dan kaum muda (pembaharu). Untuk mempertahankan pendirian masing-masing kelompok, maka lembaga pendidikan dijadikan sebagai alat sosialisasi dan mobilisasi massa. Kaum muda dalam hal ini memanfaatkan madrasah sebagai pusat pendidikan sementara kaum tua memanfaatkan surau.
Sebagai imbas dari ide pembaharuan tersebut maka pada awal abad ke 20 M, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua golongan yaitu: 1) pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah Barat yang sekuler yang tak mengenal ajaran agama; 2) pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja . Pendidikan ala Barat ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan, baik dari segi metode, isi maupun tujuannya.

Wirjosukarto sebagaimana yang dikemukakan Muhaimin mengatakan bahwa model pendidikan pesantren (corak lama) memiliki ciri-ciri: 1) menyiapkan calon kyai atau ulama yang hanya menguasai masalah agama semata; 2) kurang diberikan pengetahuan untuk menghadapi perjuangan hidup sehari-hari dan pengetahuan umum sama sekali tidak diberikan; 3) sikap isolasi yang disebabkan karena sikap nonkooperasi secara total dari pihak pesantren terhadap apa saja yang berbau Barat. Sementara ciri-ciri pendidikan ala Barat (corak baru) adalah: 1) hanya menonjolkan intelek dan sekaligus hendak melahirkan golongan intelek; 2) pada umumnya bersikap negatif terhadap agama Islam; 3) alam pikirannya terasing dari kehidupan bangsanya.
Dominasi pemerintah kolonialisme Belanda yang begitu kuat berimbas pada pendidikan Islam pesantren, sehingga muncul ide untuk melakukan reformulasi pendidikan Islam khususnya pondok pesantren sebagai icon pendidikan Islam masa itu. Gagasan ini mulai memuncak pada abad ke 20 M dengan membentuk lembaga-lembaga pendidikan modern yang diadopsi dari sistem pendidikan kolnial Belanda. Pemrakarsa dalam hal ini adalah organisasi-organisasi “Modernis” Islam seperti Jami’at al Khoir, al Irsyad, Muhamadiyah dan lain-lain.  

Model pendidikan yang dikembangkan kaum pembaharu tersebut merupakan model sintesis dari pendidikan pesantren. Model ini menurut Muhaimin muncul bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah yang berkelas dan muncul sejak tahun 1909. Merujuk pada hasil penelitian Mahmud Yunus, Muhaimin menunjukan bahwa pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis adalah sekolah Adabiyah/Madrasah Adabiyah (Adabiyah School) di Padang. Inilah madrasah pertama di Minangkabau bahkan di seluruh Indonesia yang didirikan oleh Syaikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Madarasah Adabiyah ini eksis sampai tahun 1914 kemudian diubah menjadi HIS.

Terkait dengan masuknya pelajaran umum ke dalam lingkungan pesantren sejak awal abad ke 20 beberapa pesantren mulai bersikap progresif dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum. Salah satu pesantren yang mempelopori pembaharuan kurikulum tersebut adalah pesantren Tebuireng. Pada tahun 1935 pesantren Tebuireng telah membuka madrasah modern secara basar-besaran yang dinamakan madrasah Nizhamiyah, suatu bentuk perguruan hasil karya A.Wahid Hasyim sendiri, dengan cara dan daftar pelajaran yang belum pernah terjadi dan belum pernah ada orang yang berani menciptakannya sebagai salah satu cabang pesantren. Di dalam madrasah tersebut selain pelajaran agama dan bahasa Arab, juga disajikan pengetahuan umum, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris, di mana ketiga mata pelajaran yang disebut terakhir masih dianggap alergi bagi kaum ulama.
  
Pada awalnya Tebuireng memang hanya mementingkan pelajaran agama semata sebab pengajaran-pengajaran umum seperti bahasa-bahasa asing (selain bahasa Arab), belajar huruf latin, dan berhitung masih dianggap haram untuk diajarkan. Bahkan pada waktu itu, memakai bangku dan papan tulis ketika memberikan pelajaran sudah dianggap tidak sesuai dengan kehidupan agama. Pandangan semacam ini dilatarbelakangi semangat agama yang sangat menentang penjajahan .
Sebagai pesantren terkemuka khususnya di Jawa dan Madura pada waktu itu, pembaharuan kurikulum di pesantren Tebuireng tersebut tentu saja mendapatkan banyak tantangan. Namun demikian secara perlahan-lahan pada akhirnya banyak diikuti oleh pesantren-pesantren yang lain. Pada tahun 1980-an cukup banyak pesantren tradisional yang sudah memasukkan sistem madrasah dan ikut kurikulum pemerintah. Sekurang-kurangnya pesantren tersebut menambahkan pengetahuan umum seperti pelajaran PMP, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, IPS, dan Matematika .

Tujuan pendidikan pondok pesantren pada dasarnya adalah menyiapkan calon lulusan yang hanya menguasai masalah agama agama semata (Tafaqquh fi Addien ), pola pikir seperti ini dilandasi oleh pemikiran bahwa hakikat manusia adalah sebagai ‘abd Allah yang hanya mengadakan hubungan vertikal dengan Allah SWT guna mencapai kesholehan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.  Namun persoalannya kemudian adalah mampukah pesantren tetap eksis dengan orientasi pendidikan seperti ini di tengah derasnya arus perubahan zaman?

Karena itulah kemudian Seiring dengan tuntutan zaman dan laju perkembangan masyarakat, pesantren yang pada dasarnya didirikan untuk kepentingan moral, pada akhirnya harus berusaha memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman tersebut. Orientasi pendidikan pesantren perlu diperluas, sehingga menuntut dilakukannya pembaharuan kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan zaman dan pembangunan bangsa. Sementara itu, pesantren memiliki otoritas untuk menentukan kehidupannya sendiri. Sebagai akibatnya terjadilah polarisasi bentuk-bentuk pesantren dengan model sekaligus kurikulum yang berbeda-beda antara satu pesantren dengan pesantren yang lain. Ada pesantren salaf yang mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik tanpa mengajarkan pengetahuan umum, ada pula pesantren khalaf yang menerapkan sistem pengajaran klasikal, mengajarkan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama dan juga pendidikan keterampilan 

Penutup

Masuknya Islam di bumi Nusantara merupakan gerbang utama perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia pra kemerdekaan telah melalui dua fase, yaitu fase pertama berlangsung pada awal masuknya Islam di Indonesia yang ditandai dengan perkembangan pesantren. Sementara fase kedua berlangsung semenjak munculnya ide-ide pembaharuan yang ditandai dengan lahirnya madrasah.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang muncul sejak kedatangan Islam di Nusantara, namun dalam perkembangannya pesantren mengalami tekanan-tekanan dengan munculnya kebijakan pendidikan sekuler yang dikampanyekan pemerintah kolonial hingga akhirnya muncul ide-ide pembaharuan untuk memodifikasi model pendidikan Islam tradisional dengan mengadopsi sistem pendidikan modern ala Barat sehingga munculah model pendidikan madrasah. Akhirnya, model pendidikan sintesis inilah yang menjadi kekuatan bagi pesantren untuk menjawab tantangan zaman.
 
Adapun makna filosofis yang dapat dijadikan sebagai ibroh dalam fase perjalanan sejarah Pendidikan Islam (baca: pesantren) di Indonesia adalah bahwa manusia akan melalui fase-fase dalam hidup dan kehidupannya mulai dari fase kelahiran, pertumbuhan, perkembangan hingga akhirnya juga akan memasuki fase Game Over (kematian). Dengan demikian, kehidupan manusia (secara individual) sesungguhnya dapat dikatakan sebagai sebuah miniature sebuah perjalanan sejarah. Pada setiap fase-fase tersebut manusia akan dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup yang akan memberikannya dua pilihan, bergerak atau diam. Namun tentu saja manusia dituntut untuk bergerak dan bersikap responsive, inovatif, dan kreatif dalam menghadapinya, karena “hidup itu adalah gerak”, demikian ungkap Iqbal.

Demikian halnya dengan sejarah yang ditorehkan pesantren di bumi Nusantara ini, di mana pada awal pertumbuhannya pesantren memperlihatkan bentuknya yang paling konservatif dengan system pendidikan halaqah, namun seiring dengan munculnya ide pembaharuan, maka sebagian besar pesantren mulai mendesain sebuah system pendidikan up to date yang lebih responsive terhadap persoalan-persoalan global yang mulai menggeser system pendidikan tradisional.

Referensi
Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005

Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, 2005

Hj. Lubna, Mengurai Ilmu Pendidikan Islam, Mataram: LKIM Mataram, 2009

Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Kritik Nurkholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional), Jakarta: Ciputat Press, 2002

Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LkiS

Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, Surabaya: al Ikhlas, 1993

H. Djamaludin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999

Fahrurrozi, Melacak Peranan Para Da’i Hadhramaut dalam Penyebaran Dakwah Islam di Indonesia, Jurnal Tasamuh Fakultas Dakwah IAIN Mataram vol. 4, Desember 2006

H. Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan), Bandung: Nuansa, 2010

Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995

Moh Said dan Junimar Affan, Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars, 1987

Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia,  Malang: UMM Press, 2006

Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1982

Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Ideologi, Jakarta: Erlangga

http://mufeecrf.blogspot.com/2009/10/pendidikan-pada-masa-awal-masuknya.html

http://limalaras.wordpress.com/2011/01/31/asal-usul-pendidikan-Islam-di-indonesia/

Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia http://id.shvoong.com/books/dictionary/2020367-sejarah-pertumbuhan-dan-pembaruan-pendidikan/#ixzz1IwJBBcfv 

http://www.canboyz.co.cc/2010/02/pendidikan-Islam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar