Pages

Rabu, 24 Oktober 2012

MUHAMMAD SAW MENJADI RASUL DAN TERBENTUKNYA NEGARA MADINAH

Oleh : Ahmad Munadi
      
 
 
 
Pendahuluan

Islam sebagai sebuah konsep ideologi, telah berhasil membangun pondasi yang kuat bagi peradaban dunia. Nampaknya, ini semua sebagai bentuk kesuksesan masyarakat muslim ketika itu melakukan pembumian terhadap gagasan al Quran, sehingga terbukti secara historis masyarakat muslim mampu memproduksi berbagai macam karya peradaban yang tercermin dari berbagai produk olahan kreativitas mulai dari hukum, ekonomi, politik, sosial, filasafat, seni, sains dan sebagainya. Hal inilah yang kemudian menjadi fakta sejarah sekaligus sebagai bukti bahwa Islam memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan peradaban dunia.

Kesuksesan tersebut tentu saja tidak lepas dari peran sentral Muhammad SAW selaku aktor utama dibalik rancang-bangun drama peradaban dunia Islam. Risalah Islam yang dibawa Muhammad SAW merupakan “Undang-Undang Dasar Ketuhanan” yang memuat peraturan Allah SWT sebagai konsep pedoman hidup di mana kerangka operasionalnya telah diterjemahkan Muhammad SAW melalui sunnahnya.

Dalam mengkampanyekan ajaran Islam ke penjuru dunia, Muhammad SAW membutuhkan waktu yang relative singkat. Haekal mengemukakan bahwa tidak sampai seratus lima puluh tahun, Islam telah menyebar hingga wilayah Andalusia di Eropa sebelah barat, ke India, Turkestan, sampai ke Tiongkok di Asia Timur, juga telah sampai ke Syam (meliputi Suria, Libanon, Yordania dan Palestina sekarang), Irak, Persia dan Afganistan. Selanjutnya negeri-negeri Arab dan kerajaan Arab, sampai ke Mesir, Cyrenaica, Tunisia, Aljazair, Marokko, - sekitar Eropa dan Afrika - telah dijamah misi Muhammad SAW.
Kesuksesan misi yang diemban Muhammad SAW tersebut, menjadikan ia sebagai tokoh dunia yang paling berpengaruh. Tidak ada tokoh di dunia sehebat Muhammad SAW yang ajarannya masih menjadi primadona di kalangan masyarakat dunia, hal ini terbukti dengan semakin membeludaknya pengikut ajaran Muhammad SAW.  Karena itulah kemudian tidak mengherankan jika para sejarawan baik in sider ataupun out sider, sebut saja Taha Husain, Taufiq al Hakim, Abbas Mahmud al Aqqad, Abdurrahman Asyarqawi, Muhammad Husain Haekal, Martin Lings, Keren Armstrong, HAR Gibb dan seterusnya, tercuri perhatiannya untuk melakukan studi terhadap sosok Muhammad SAW.

 Melalui coretan-coretan sederhana ini, penulis mencoba menilik sepak terjang Muhammad SAW sebagai seorang pengemban risalah dan scenario besarnya dalam membangun Negara Madinah (City State of Madina). Mengingat begitu luas dan dalamnya perjalanan sejarah Muhammad SAW, maka dalam coretan sederhana ini, penulis hanya memaparkan ulasan singkat sosok Muhammad SAW. Uraian ini nantinya akan diawali dengan pemaparan tentang potret masyarakat Arab pra Islam, kemudian dilanjutkan dengan cuplikan singkat sejarah perjalanan hidup beliau dari periode pra Kenabian hingga terbentuknya Negara Madinah. Oleh karena itu, mengingat luasnya kajian tentang Muhammad SAW maka apa yang dipaparkan dalam coretan-coretan sederhana ini belum secara representative menggambarkan perjalanan sejarah Muhammad SAW  seutuhnya.
 
Muhammad SAW Menjadi Rasul dan Terbentuknya Negara Madinah

Melacak aksi drama Muhammad SAW di panggung peradaban Islam , sesungguhnya menggiring pemikiran untuk menilik masyarakat Arab pra Islam, sebab sejarah masyarakat Arab memiliki relevansi yang sangat kuat terhadap perkembangan peradaban Islam selanjutnya, dan fakta sejarah menyebutkan bahwa Islam dibumikan pertama kali pada komunitas arab. Hal inilah yang kemudian mengarahkan pena penulis untuk menelusuri terlebih dahulu setting kondisi komunitas Arab pra kenabian Muhammad SAW, sebelum lebih jauh melacak perjalanan aksi dakwah Muhammad SAW membangun Negara Madinah ( City State of Madina).

Potret Masyarakat Arab Pra Islam

Arab  terletak di persimpangan ketiga benua, sebelah Barat dibatasi Laut Merah, Teluk Persia di sebelah Timur, Lautan India di sebelah Selatan, dan Suriah serta Mesopotamia di bagian Utara. Dalam catatan sejarah, semenanjung Arab pada awalnya dihuni oleh penduduk teluk Persia yang mendirikan city-state sebelum abad ketiga S.M. Sebelum Islam datang, komunitas Arab pada dasarnya telah memiliki tatanan masyarakat yang sudah lama mengakar dan sekaligus menjadi prinsip hidup. Dengan demikian, Islam sesungguhnya datang di tengah-tengah masyarakat yang sudah memiliki tatanan masyarakat yang telah mapan, sehingga tidak mengherankan kemudian,  kondisi ini melahirkan pertarungan hebat, sebab kedatangan Islam membawa ancaman bagi posisi system nilai yang dibangun masyarakat Arab ketika itu.
 Sebelum datangnya risalah Muhammad SAW, masyarakat Arab telah memiliki tatanan masyarakat yang cukup baik dan tertata, hal ini terlihat dari system kepercayaan, system politik dan pemerintahan, system social, budaya dan peradaban yang dimilikinya. System kepercayaan misalnya, komunitas Arab pra Islam menganut beragam agama seperti agama tauhid, agama Ashobiyah, agama Yahudi, agama Kristen, dan Paganisme.
Pada system pemerintahan, masyarakat Arab pra Islam menganut system pemerintahan yang mendekati system masyaikhah yaitu  sebuah system kepemimpinan dimana pucuk kepemimpinan dipegang oleh seorang Syeikh dan system suksesi kepemimpinan disetting dengan menggunakan system monarchy heriditas, yaitu system suksesi kepemimpinan yang mengakar pada hubungan geneologis. 
Sementara pada system social, masyarakat Arab pra Islam  diformat dalam bentuk kabilah berdasarkan pertalian darah (geneologis).  Setiap anggota merupakan asset seluruh kabilah dan kabilah wajib memberikan proteksi terhadap anggotanya, bahkan terhadap tamu sekalipun, sebab memberi proteksi terhadap mereka merupakan suatu kehormatan.
 
Selanjutnya dalam system kebudayaan dan peradaban, masyarakat Arab pra Islam terkenal dengan peradaban “jahiliyah”, namun peradaban jahiliyah yang dimaksudkan disini bukanlah peradaban masyarakat yang jauh dari ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi sebuah peradaban yang terkontaminasi dengan virus degradasi nilai, dekadensi moral, pembangkangan, pendustaan, serta pendurhakaan terhadap kebenaran. , kondisi inilah yang kemudian mendorong Muhammad SAW melakukan rekonstruksi bahkan mungkin dekonstruksi terhadap tatanan peradaban masyarakat arab yang sudah sekian lama berada dalam dekapan budaya jahiliyah.

Cuplikan singkat perjalanan hidup Muhammad SAW

“Mengorek” periode kehidupan Muhammad SAW sesungguhnya bukan persoalan yang mudah, mengingat begitu luasnya kajian terhadap  tokoh dunia yang fenomenal ini, seseorang dapat menghasilkan buku yang berjilid-jilid hanya sekedar menggambarkan sosok Muhammad SAW.
Masyarakat Arab pra Islam, sebagaimana yang dikemukakan pada uraian sebelumnya termasuk masyarakat yang memiliki tatanan kehidupan yang telah mapan, hal ini tercermin dari system pemerintahan monarchy heriditas yang diterapkannya, system social yang dibangun berdasarkan konsep kabilah, system kepercayaan yang pluralis dan sebagainya. Semua ini tentu saja sebagai gambaran bahwa masyarakat Arab pra Islam telah memiliki pola kehidupan masyarakat yang “ideal”, namun persoalannya kemudian adalah konsep kebudayaan dan peradaban yang dihasilkan justru menggiring masyarakat Arab pra Islam menjadi masyarakat “jahiliyah” yang  menampilkan pola hidup yang kental dengan degradasi nilai, dekadensi moralitas, dan keangkuhan serta kedurhakaannya terhadap eksistensi Ketauhidan. 

Muhammad SAW adalah keturunan Bani Hasyim. Kabilah ini memiliki posisi yang kurang mujur dalam suku Quraisy, sebab kabilah ini hanya memegang jabatan sebagai siqayah . Muhammad SAW lahir pada tahun 570 M yang dikenal dengan nama “Tahun Gajah”, sebab pada tahun ini pasukan Abrahah, Gubernur kerajaan Habsy (Ethiopia) menyerbu Makkah dengan mengendarai gajah untuk menghancurkan  Ka’bah.   Insiden ini berawal dari pembangunan sebuah katedral megah di San’a oleh Abrahah dimana bangunan ini bertujuan untuk mengalihkan pusat ibadah haji orang Arab dari Makkah menuju katedral yang dibangun Abrahah tersebut. Persoalan ini kemudian menyulut kemarahan suku-suku yang tersebar di Hijaz dan Najd, hingga akhirnya salah seorang suku Kinanah yang masih memiliki nasab dengan Quraisy melakukan perusakan terhadap bangunan katedral tersebut. Karena tidak menerima hal tersebut, Abrahah kemudian melakukan  penyerangan terhadap Ka’bah yang ada di Makkah.

Muhammad SAW lahir dalam keadaan yatim karena ayahnya Abdullah meninggal dunia  tiga bulan setelah menikah dengan ibunya, Siti Aminah. Setelah itu Muhammad SAW kemudian diasuh oleh Halimatussa’diyah hingga berusia empat tahun, dan selama dua tahun Muhammad SAW kembali diasuh sang bunda hingga akhirnya menjadi yatim piatu ketika berusia enam tahun. Setelah Siti Aminah meninggal, hak asuh pun diserahkan kepada Abdul Mutholib, namun dua tahun kemudian Abdul Mutholib meninggal dunia dan Muhammad SAW selanjutnya hidup bersama pamannya Abu Tholib.

Semasa muda Muhammad SAW banyak menghabiskan waktunya untuk mengembala domba milik penduduk Makkah. Terkadang Muhammad SAW juga ikut dalam rombongan kafilah untuk ikut berdagang. Hingga suatu saat ia ikut kafilah untuk berniaga ke Syiria. Di Bostra, dekat sebuah tempat persinggahan para saudagar Makkah, berdiri sebuah biara yang dihuni oleh seorang pendeta Kristen bernama Bahira. Bahira, berdasarkan sebuah manuskrip kuno meramalkan tentang akan datangnya seorang nabi pada masyarakat Arab yang memiliki ciri-ciri tertentu dan ternyata ciri-ciri tersebut nampak pada sosok Muhammad SAW, hingga akhirnya Bahira meminta Abu Tholib untuk menjaga dan melindungi Muhammad SAW.  
 
Muhammad SAW dilantik sebagai Nabi

Ketika peradaban masyarakat Arab pra Islam dilukiskan sebagai sebuah peradaban kelam, yang tertidur pulas dengan selimut peradaban “jahiliyah”, maka di saat itu Muhammad SAW muncul sebagai pencerah untuk melakukan reformasi terhadap degradasi nilai dan dekadensi moral yang menghinggapi komunitas Arab. Sejarah ini dimulai pada tanggal 17 Ramadhan 610, ketika Muhammad SAW mendengar bisikan wahyu ilahi dalam perjalanan spiritualnya di Gua Hira.

Selama dua tahun, Muhammad SAW tidak pernah menceritakan pengalaman spiritual – yang diyakini sebagai pesan Tuhan -  tersebut kepada siapa pun kecuali istrinya Siti Khadijah dan Waraqah bin Naufal sepupunya yang beragama Kristen. Baru kemudian pada tahun 612 Muhammad SAW menyampaikan pesan Tuhan tersebut, hingga akhirnya mendapat dukungan dari Ali bin Abi Tholib, Abu Bakar, dan Utsman bin Affan seorang saudagar kaya.    Misi yang dilakukan Muhammad SAW ini masih berupa “gerakan bawah tanah”, baru kemudian menjadi gerakan terbuka ketika turun perintah Tuhan untuk menjalankan misi secara terbuka. Terkait persoalan misi dakwah Muhammad SAW, para penulis modern seringkali melakukan spekulasi dengan melempar pernyataan yang menganggap misi Muhammad SAW hanya sebagai duplikat misi Yahudi dan Kristen, sebab fakta sejarah menjelaskan bahwa sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab telah melalui proses pembauran dengan pengaruh Yahudi dan Kristen. Namun terkait persoalan ini Fazlur Rahman mengatakan bahwa pernyataan yang dibangun penulis modern tersebut  terkait misi Muhammad SAW tidaklah benar, walaupun terdapat konsepsi keagamaan yang monoteistik. Lebih lanjut Fazlur Rahman mengatakan bahwa secara mutlak tidak ada alasan yang dapat dipercaya, bahwa Tuhan mereka yang satu, sama benar dengan Tuhan Muahammad SAW yang satu.

Di tengah gencarnya Muhammad SAW menyampaikan pesan dakwahnya, para pemimpin Quraisy pun dengan begitu beringas membatasi gerakan dakwah tersebut. Ahmad Syalabi mengemukakan bahwa terdapat lima faktor yang menjadi pemicu Quraisy menentang gerakan dakwah Muhammad SAW. Pertama, Mereka tidak bisa membedakan antara kenabian dan kekuasaan, sehingga mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad SAW berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib,  kedua, Muhammad SAW menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya, hal ini tidak disetujui oleh bangsawan Quraisy,  ketiga, pemimpin Quraisy menolak doktrin tentang kebangkitan dan pembalasan,  keempat, Taklid kepada nenek moyang merupakan persoalan yang tidak bisa diganggu gugat,  kelima, pemahat dan penjual patung menganggap Islam sebagai penghalang rezeki.
Kelima factor tersebut jika disimpulkan akan terpartisi ke dalam lima factor yaitu, factor politik, social, ekonomi, kepercayaan, dan tradisi. Fanatisme Quraisy terhadap agama nenek moyang sebagaimana yang dikemukakan di atas ternyata menjadi pemicu sulitnya Islam berkembang di Makkah. Pada periode Makkah ini Muhammad SAW menonjolkan sikap kepemimpinan bukan kenabian dalam kebijakan dakwahnya, sebab pola seperti ini lebih tepat jika dibandingkan dengan melaksanakan tabligh.

Dengan demikian, dakwah Muhammad SAW sebagaimana yang dilangsir  H.M. Zaki dari pernyataan Ibnu Qoyyim tercermin dari beberapa pola yaitu: a) deklarasi kenabian, hal ini dilakukan sebagai bentuk sosialisasi atas kenabiannya, b) berdakwah kepada keluarga dan sahabatnya, c) berdakwah kepada komunitas Arab, d) berdakwah kepada masyarakat luas, e) berdakwah kepada seluruh umat manusia. Sementara tipologi dakwah didesain Muhammad SAW dengan empat tahapan yaitu: 1) dakwah secara sembunyi-sembunyi. Tipe ini berjalan selama tiga tahun, 2) dakwah secara terang-terangan dengan tetap menahan diri untuk tidak melakukan peperangan hingga datangnya perintah hijrah ke Yasrib, 3) dakwah secara terang-terangan dengan melakukan perlawanan terhadap mereka yang menyerang kaum muslimin terlebih dahulu dan ini berlangsung hingga terjadinya perjanjian Hudaibiyah, 4) dakwah secara terang-terangan dengan melakukan kontak senjata terhadap mereka yang menghalangi dakwah Islam. 
 
Hijrah ke Ethiopia sebuah langkah awal menuju sukses

Berbagai macam intimidasi dan penyiksaan yang dihadapi Muhammad SAW dan kaum muslimin di Makkah memaksanya berpikir keras mencari jalan keluar dari persoalan ini, hingga akhirnya muncul ide untuk melakukan hijrah sebagai alternative untuk membendung intimidasi dan penyiksaan yang dilakukan oleh kafir Quraisy Makkah. Hijrah ini dilakukan kaum muslimin ke Habsyah (Ethiopia) pada tahun ke 5 dari kenabian. Jumlah rombongan yang hijrah saat itu berjumlah sebelas orang laki-laki dan empat orang perempuan mereka adalah Abu Salamah bin Abdul Asad dan istrinya, Ummu Salamah binti Abu Umayah, Usman bin Affan dan istrinya, Ruqayyah binti Muhammad SAW, Usman bin Ma’thum dan Mash’ab bin Umair. Kemudian menyusul rombongan kedua sejumlah 80 orang laki-laki dan 19 orang perempuan,  di Habsyah kaum muslim hidup damai karena memperoleh suaka politik dari Raja Habsyah. Beberapa tahun kemudian tepatnya pasca hijrahnya kaum muslimin ke Yasrib, sebagian dari kaum muslimin yang berada di Habsyah kembali ke Makkah.

Hijrah ke Thaif sebuah kesuksesan yang tertunda

Mengingat posisi kaum muslimin semakin kuat,  maka kafir Quraisy semakin gila melancarkan berbagai macam aksi untuk membendungnya. Langkah yang dilakukan kafir Quraisy ketika itu adalah dengan melakukan embargo ekonomi pada tahun ke-7 kenabian  terhadap Bani Hasyim yang ketika itu diyakini sebagai basis perlindungan dakwah Muhammad SAW. Akibat embargo perekonomian tersebut, Bani Hasyim pun mengalami penderitaan yang luar biasa dan ini berlangsung selama tiga tahun. Setelah embargo ekonomi yang dilakukan kafir Quraisy terhadap Bani Hasyim dicabut, tidak lama setelah itu Abu Tholib meninggal dunia dan disusul Siti Khadijah tiga hari kemudian.
Sepeninggal Abu Tholib dan Siti Khadijah, basis perlindungan dakwah Muhammad SAW pun menjadi goyah. Melihat kondisi ini, aksi kafir Quraisy terhadap Muhammad SAW dan kaum muslim semakin berutal, bahkan mereka berani melakukan penganiayaan yang dulunya tidak pernah mereka lakukan ketika Abu Tholib masih hidup. Keberutalan yang dilakukan kafir Quraisy inilah yang kemudian memaksa Muhammad SAW untuk mencari suaka politik di Thaif, namun ikhtiar politik yang dilakukan Muhammad SAW ini mendapat hambatan hingga akhirnya Muhammad SAW kembali ke Makkah tanpa memperoleh hasil yang gemilang.

Kegagalan ikhtiar politik yang dilakukan Muhammad SAW di Thaif ternyata menjadi awal kesuksesan dakwah Islam, mengapa demikian? Pasca peristiwa Isra Mi’raj, sejumlah penduduk Yasrib yang berhaji ke Makkah yaitu suku Aus dan Khazraj masuk Islam dalam tiga gelombang. Pertama, tahun ke 10 kenabian di mana beberapa orang Khazraj meminta nabi menjadi mediator dalam mengatasi permusuhan antara suku Aus dan Khazraj Kedua, pada tahun ke 12 kenabian terdiri dari 10 orang suku Khazraj, 2 orang suku Aus dan seorang wanita menemui Muhammad SAW dengan mengucapkan ikrar kesetiaan di sebuah tempat yang bernama Aqabah (Perjanjian Aqabah I),  Ketiga pada musim haji berikutnya penduduk Yasrib yang berjumlah 73 orang meminta Muhammad SAW agar pindah ke Yasrib dan mereka bersedia membela dan melindungi Muahammad SAW dari segala ancaman (Perjanjian Aqabah II).
 
Hijrah ke Yasrib: gerbang menuju Negara Madinah

Intimidasi dan tekanan-tekanan yang dilakukan kafir Quraisy  terhadap kaum muslimin, sesungguhnya merupakan titik awal yang memaksa kaum muslim untuk melakukan hijrah ke Yasrib. Lebih spesifik, faktor yang menyebabkan Muhammad SAW melakukan hijrah ke Yatsrib adalah:  1) cobaan dan tekanan dari kafir Quraisy, 2) Adanya jaminan keamanan dari penduduk Yatsrib, 3) Kekhawatiran akan berpalingnya kaum muslim dari Islam karena tekanan kafir Quraisy, 4) Allah SWT mengizinkan kaum muslimin berperang 
Setelah mendengar informasi Baiat Aqabah II serta menyaksikan gelombang hijrah kaum muslim ke Yatsrib memunculkan kekhawatiran yang luar biasa bagi kafir Quraisy, mereka menangkap signal jika kejadian ini nantinya akan berdampak pada makin solidnya kekuatan kaum muslim, sehingga akan mengancam eksistensi kafir Quraisy. Karena itulah kemudian kafir Quraisy menyusun rencana untuk membunuh Muhammad SAW, namun niat ini ternyata tidak  berjalan sesuai harapan sebab nabi berhasil menghindar dari ancaman pembunuhan tersebut.

Muhammad SAW memilih Yatsrib sebagai tujuan hijrah disebabkan oleh beberapa factor antara lain:  a) factor emosional-sentimental, Yatsrib memiliki ikatan emosional yang luar biasa terhadap masa lalu serta kenangan indah bersama ibunda dan ayahandanya, bahkan sebagian besar nenek moyangnya berasal dari kota ini, b) factor Religio-spritual, penduduk Yasrib merupakan komunitas heterogen dan sudah mengenal agama monoteistik, c) factor mediasi konflik, suku Aus dan Khazraj merupa dua kelompok yang selalu bertikai, maka Muhammad dalam hal ini adalah figur yang tepat untuk menengahi pertikaian di antara mereka d) factor geografis, secara geografis, Yasrib merupakan daerah yang subur, sehingga sangat tepat untuk mengembangkan dakwah Islam selanjutnya. 
Strategi Muhammad SAW ketika melakukan hijrah sebagaimana yang dikemukakan A. Syalaby yaitu, a) Rasul memilih arah Selatan kota Makkah, sebab menurut pemikiran beliau, orang quraisy pasti akan memilih jalan Utara kota Makkah, b) Rasul tidak langsung melakukan hijrah ke Madinah akan tetapi beliau bermalam dulu di gua Tsur selama beberapa malam. Dengan demikian orang Quraisy akan kembali, c) Terdapat dua jalan yang biasa ditempuh orang dari Makkah ke Madinah, akan tetapi Rasul berinisiatif memilih jalan lain yang jarang di tempuh oleh orang
 
Setelah berada di Yasrib, Muhammad SAW diangkat menjadi pemimpin penduduk kota itu. Inilah yang kemudian menjadi babak awal kekuatan politik umat Islam ketika itu. Sisi menarik dari system politik yang dibangun oleh Muhammad SAW adalah bahwa negara Madinah tersebut dibangun di atas pondasi kondisi social yang heterogen. Etnis Arab dengan beraneka suku, dan juga berbagai jenis keyakinan, Yahudi dengan beberapa sektenya, Nasrani serta masyarakat suku paganism yang belum mempunyai agama, serta Islam sendiri. Keanekaragaman ini dapat dipersatukan dalam suatu sitem politik yang dibangun oleh Muhammad SAW. Pada masa kenabian tidak ada lagi perang antar suku, tidak juga ada superioritas kelompok tertentu atas yang lain. Semua dapat hidup damai, saling menghormati satu dengan lain.

Dalam rangka mengharmoniskan hubungan antara komunitas di Madinah Muhammad SAW menandatangani MOU dengan penduduk Madinah yang berisi: 1) Kelompok ini mempunyai pribadi keagamaan dan politik, kelompok berhak menghukum orang yang membuat kerusakan, 2) Kebebasan beragama terjamin buat semua, 3) Penduduk madinah berkewajiban saling menolong, baik moril maupun materil, 4) Rasulullah adalah pemimpin penduduk Madinah, karena itu setiap ada perselisihan maka rasul menjadi solusinya
Selanjutnya kebijakan politik yang pertama kali dilakukan Muhammad SAW adalah dengan meletakan konsep dasar masyarakat madinah yang tercermin dalam tiga point yaitu:   Pertama, Mendirikan Masjid, masjid ini dijadikan sebagai central kegiatan kemasyarakatan, tidak hanya terbatas pada persoalan ibadah. Masjid dijadikan sebagai media pemersatu umat. Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda yaitu “Quraisy” dan “Yatsrib” yang dikenal dengan komunitas “Muhajirin” dan “Anshar” di mana kedua komunitas ini menyatu dalam ikatan agama. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan komunitas lain yang berbeda, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama untuk saling membantu antara sesama, baik muslim maupun non-muslim.

Sementara itu sebagai landasan dalam mewujudkan interaksi social yang kondusif antar komunitas yang heterogen tersebut Muhammad SAW memprakarsai sebuah Undang-undang kemasyarakatan yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Piagam Madinah  yang menjadi konstitusi dalam upaya menyatukan semua komponen masyarakat di Madinah. Para sejarawan Barat mengakui eksistensi Piagam Madinah sebagai sebuah dokumen politik terlengkap dan tertua jauh mendahului Declaration of  Human Right  produk Amerika Serikat ataupun konstitusi Magna Charta.  Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal yang dapat diuraikan sebagai berikut:

I
PEMBENTUKAN UMMAT

Pasal 1
Sesungguhnya mereka adalah satu ummat, bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia lainnya.

II
HAK ASASI MANUSIA

Pasal 2
Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap mempunyai hak asli mereka, yaitu saling tanggung-menanggung, membayar dan menerima uang tebusan darah (diyat) di antara mereka (karena suatu pembunuhan), dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang beriman.

Pasal 3
1.    Banu 'Awf (dari Yatsrib) tetap mempunyai hak asli mereka, tanggung menanggung uang tebusan darah (diyat).
2.    Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.

Pasal 4
1.    Banu Sa'idah (dari Yatsrib) tetap atas hak asli mereka, tanggung menanggung uang tebusan mereka.
2.    Dan setiap keluarga dari mereka membayar bersama akan uang tebusan dengan baik dan adil di antara orang-orang beriman.

Pasal 5
1.    Banul-Harts (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, saling tanggung-menanggung untuk membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2.    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 6
Banu Jusyam (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
1.    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 7
1.    Banu Najjar (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) dengan secara baik dan adil.
2.    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang beriman.

Pasal 8
1.    Banu 'Amrin (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2.    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan
adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 9
1.    Banu An-Nabiet (dari suku Yatsrib) tetap berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2.    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 10
1.    Banu Aws (dari suku Yatsrib) berpegang atas hak-hak asli mereka, tanggung-menanggung membayar uang tebusan darah (diyat) di antara mereka.
2.    Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

III
PERSATUAN SEAGAMA

Pasal 11
Sesungguhnya orang-orang beriman tidak akan melalaikan tanggungjawabnya untuk memberi sumbangan bagi orang-orang yang berhutang, karena membayar uang tebusan darah dengan secara baik dan adil di kalangan orang-orang beriman.

Pasal 12

Tidak seorang pun dari orang-orang yang beriman dibolehkan membuat persekutuan dengan teman sekutu dari orang yang beriman lainnya, tanpa persetujuan terlebih dahulu dari padanya.

Pasal 13
1.    Segenap orang-orang beriman yang bertaqwa harus menentang setiap orang yang berbuat kesalahan , melanggar ketertiban, penipuan, permusuhan atau pengacauan di kalangan masyarakat orang-orang beriman.
2.    Kebulatan persatuan mereka terhadap orang-orang yang bersalah merupakan
tangan yang satu, walaupun terhadap anak-anak mereka sendiri.

Pasal 14
1.    Tidak diperkenankan seseorang yang beriman membunuh seorang beriman lainnya karena lantaran seorang yang tidak beriman.
2.    Tidak pula diperkenankan seorang yang beriman membantu seorang yang kafir untuk melawan seorang yang beriman lainnya.

Pasal 15
1.    Jaminan Allah adalah satu dan merata, melindungi nasib orang-orang yang lemah.
2.    Segenap orang-orang yang beriman harus jamin-menjamin dan setiakawan sesama mereka daripada (gangguan) manusia lainnya.

IV
PERSATUAN SEGENAP WARGANEGARA

Pasal 16
Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapatkan bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.

Pasal 17
1.    Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
2.    Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.

Pasal 18
Setiap penyerangan yang dilakukan terhadap kita, merupakan tantangan terhadap semuanya yang harus memperkuat persatuan antara segenap golongan.

Pasal 19
1.    Segenap orang-orang yang beriman harus memberikan pembelaan atas tiap-tiap darah yang tertumpah di jalan Allah.
2.    Setiap orang beriman yang bertaqwa harus berteguh hati atas jalan yang baik dan kuat.

Pasal 20
1.    Perlindungan yang diberikan oleh seorang yang tidak beriman (musyrik) terhadap harta dan jiwa seorang musuh Quraisy, tidaklah diakui.
2.    Campur tangan apapun tidaklah diijinkan atas kerugian seorang yang beriman.

Pasal 21
1.    Barangsiapa yang membunuh akan seorang yang beriman dengan cukup bukti atas perbuatannya harus dihukum bunuh atasnya, kecuali kalau wali (keluarga yang berhak) dari si terbunuh bersedia dan rela menerima ganti kerugian (diyat).
2.    Segenap warga yang beriman harus bulat bersatu mengutuk perbuatan itu, dan tidak diijinkan selain daripada menghukum kejahatan itu.

Pasal 22
1.    Tidak dibenarkan bagi setiap orang yang mengakui piagam ini dan percaya kepada Allah dan hari akhir, akan membantu orang-orang yang salah, dan memberikan tempat kediaman baginya.
2.    Siapa yang memberikan bantuan atau memberikan tempat tinggal bagi pengkhianat-pengkhianat negara atau orang-orang yang salah, akan mendapatkan kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat nanti, dan tidak diterima segala pengakuan dan kesaksiannya.

Pasal 23
Apabila timbul perbedaan pendapat di antara kamu di dalam suatu soal, maka kembalikanlah penyelesaiannya pada (hukum) Allah dan (keputusan) Muhammad SAW.


V
GOLONGAN MINORITI

Pasal 24
Warganegara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.

Pasal 25
1.    Kaum Yahudi dari suku 'Awf adalah satu bangsa-negara (ummat) dengan warga yang beriman.
2.    Kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka.
3.    Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri.
4.    Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.

Pasal 26
Kaum Yahudi dari Banu Najjar diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas

Pasal 27
Kaum Yahudi dari Banul-Harts diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas

Pasal 28
Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas

Pasal 29
Kaum Yahudi dari Banu Jusyam diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas

Pasal 30
Kaum Yahudi dari Banu Aws diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas

Pasal 31
1.    Kaum Yahudi dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti kaum yahudi dari Banu 'Awf di atas
2.    Kecuali orang yang mengacau atau berbuat kejahatan, maka ganjaran dari pengacauan dan kejahatannya itu menimpa dirinya dan keluarganya.

Pasal 32
Suku Jafnah adalah bertali darah dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa'labah

Pasal 33
1.    Banu Syuthaibah diperlakukan sama seperti kaum Yahudi dari Banu 'Awf di atas.
2.    Sikap yang baik harus dapat membendung segala penyelewengan.
Pasal 34

Pengikut-pengikut/sekutu-sekutu dari Banu Tsa'labah, diperlakukan sama seperti Banu Tsa'labah.

Pasal 35
Segala pegawai-pegawai dan pembela-pembela kaum Yahudi, diperlakukan sama seperti kaum Yahudi.

VI
TUGAS WARGA NEGARA

Pasal 36
1.    Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad SAW.
2.    Seorang warga negara dapat membalaskan kejahatan luka yang dilakukan orang kepadanya
3.    Siapa yang berbuat kejahatan, maka ganjaran kejahatan itu menimpa dirinya dan keluarganya, kecuali untuk membela diri
4.    Allah melindungi akan orang-orang yang setia kepada piagam ini

Pasal 37
1.    Kaum Yahudi memikul biaya negara, sebagai halnya kaum Muslimin memikul biaya negara
2.    Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin pembelaan untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta dari piagam ini
3.    Di antara mereka harus terdapat saling nasihat-menasihati dan berbuat kebajikan, dan menjauhi segala dosa
4.    Seorang warga negara tidaklah dianggap bersalah, karena kesalahan yang dibuat sahabat/sekutunya
5.    Pertolongan, pembelaan, dan bantuan harus diberikan kepada orang/golongan yang teraniaya

Pasal 38
Warga negara kaum Yahudi memikul biaya bersama-sama warganegara yang beriman, selama peperangan masih terjadi

VII
MELINDUNGI NEGARA

Pasal 39
Sesungguhnya kota Yatsrib, Ibukota Negara, tidak boleh dilanggar kehormatannya oleh setiap peserta piagam ini

Pasal 40
Segala tetangga yang berdampingan rumah, harus diperlakukan sebagai diri-sendiri, tidak boleh diganggu ketenteramannya, dan tidak diperlakukan salah

Pasal 41
Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketenteraman atau kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan ijin suaminya

VIII
PIMPINAN NEGARA

Pasal 42
1.    Tidak boleh terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini atau terjadi pertengkaran, melainkan segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya menurut (hukum ) Allah dan (kebijaksanaan) utusan-Nya, Muhammad SAW
2.    Allah berpegang teguh kepada piagam ini dan orang-orang yang setia kepadanya

Pasal 43
Sesungguhnya (musuh) Quraisy tidak boleh dilindungi, begitu juga segala orang yang membantu mereka

Pasal 44
Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk menentang setiap agresor yang menyergap kota Yatsrib

IX
POLITIK PERDAMAIAN

Pasal 45
1.    Apabila mereka diajak kepada perdamaian (dan) membuat perjanjian damai (treaty), mereka tetap sedia untuk berdamai dan membuat perjanjian damai
2.    Setiap kali ajakan perdamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman harus melakukannya, kecuali terhadap orang (negara) yang menunjukkan permusuhan terhadap agama (Islam)
3.    Kewajiban atas setiap warganegara mengambil bahagian dari pihak mereka untuk perdamaian itu

Pasal 46
1.    Dan sesungguhnya kaum Yahudi dari Aws dan segala sekutu dan simpatisan mereka, mempunyai kewajiban yang sama dengan segala peserta piagam untuk kebaikan (perdamaian) itu
2.    Sesungguhnya kebaikan (perdamaian) dapat menghilangkan segala kesalahan

X
PENUTUP

Pasal 47
1.    Setiap orang (warganegara) yang berusaha, segala usahanya adalah atas dirinya
2.    Sesungguhnya Allah menyertai akan segala peserta dari piagam ini, yang menjalankannya dengan jujur dan sebaik-baiknya
3.    Sesungguhnya tidaklah boleh piagam ini dipergunakan untuk melindungi orang-orang yang zalim dan bersalah
4.    Sesungguhnya (mulai saat ini), orang-orang yang bepergian (keluar), adalah aman
5.    Dan orang yang menetap adalah aman pula, kecuali orang-orang yang dhalim dan berbuat salah
6.    Sesungguhnya Allah melindungi orang (warganegara) yang baik dan bersikap taqwa (waspada)
7.    Dan (akhirnya) Muhammad adalah Pesuruh Allah, semoga Allah mencurahkan shalawat dan kesejahteraan atasnya

Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan nama dari Yatsrib menjadi Madinah yang dipahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifestasi ide Muhammad SAW untuk mewujudkan sebuah masyarakat madani. Perubahan nama dari Yatsrib menjadi Madinah, pada hakekatnya merupakan sebuah pernyataan niat, sikap, proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu, Muhammad SAW bersama para pengikutnya hendak membangun suatu masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Namun sebagian ahli sejarah menyatakan, bahwa sebenarnya Muhammad SAW tidak pernah memproklamirkan negara Madinah, sebab bukan kedaulatan wilayah yang menjadi tujuan utama gerakan Muhammad Saw. Negara yang hendak dibangun Islam adalah negara yang memberi ruang pada kedaulatan aqidah (ideologi) dan fikrah (paradigma).  Negara yang dibangun Muhammad SAW di Yastrib tersebut nampaknya lebih tepat dikatakan sebagai negara humanisme, karena negara ini didirikan atas dasar ideologi egaliteritasm yang dapat didirikan di mana saja, bukan hanya di kota Madinah, karena dasarnya adalah ideologi, maka sifatnya menjadi universal, tidak tergantung dan terbatas pada wilayah geografis tertentu.

Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummat fi Hadarat al-Islam,  menyatakan bahwa ummah yang dibentuk oleh Muhammad Saw di Madinah adalah merupakan ummah yang bersifat agama dan politik atau masyarakat agama dan politik. Sebab Muhammad Saw dalam menghimpun penduduk Madinah dari berbagai golongan tanpa memaksa mereka untuk memeluk agama Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ummah yang dibentuk Muhammad Saw di kota Madinah bersifat inklusif, karena Nabi tidak membentuk masyarakat politik yang eksklusif untuk kaum muslimin saja, tetapi Muhammad SAW menghimpun semua komunitas atau golongan penduduk Madinah tanpa ada sekat pembeda. Perbedaan aqidah atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu padu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian maka makna substansi dari piagam madinah sesungguhnya adalah prinsip keadilan dan kesederajatan serta prinsip inklusivitas.

Prinsip kesederajatan dan keadilan yang dibangun Nabi, mencakup semua aspek baik politik, ekonomi, maupun hukum. Pertama, aspek politik, Muhammad SAW mengakomodir seluruh kepentingan, semua rakyat mendapatkan hak yang sama dalam politik, walaupun penduduk Madinah sangat heterogen, baik dalam arti agama, ras, suku dan golongan-golongan. Kedua, aspek ekonomi, Muhammad SAW mengaplikasikan ajaran egaliterianisme, yakni pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh masyarakat. Ketiga, aspek Hukum, Muhammad SAW memahami aspek hukum sangat urgen dan signifikan kaitannya dengan stabilitas suatu bangsa, karena itulah Muhammad SAW tidak pernah membedakan manusia berdasarkan status social. Muhammad SAW sangat tegas dalam menegakan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Madinah, artinya tidak ada seorangpun kebal hukum. Prinsip konsisten legal harus ditegakkan tanpa pandang bulu, sehingga supermasi dan kepastian hukum benar-benar dirasakan semua anggota masyarakat.

Pondasi yang dibangun Muhammad SAW sebagaimana yang tertuang dalam Piagam Madinah  yang kemudian dijadikan sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah ketika itu pada prinsipnya mengandung dua prinsip pokok yaitu: 1) semua pemeluk  Islam meskipun berasal dari banyak suku tetapi tetap merupakan satu komunitas; 2) hubungan antar sesama komunitas Islam dan antara anggota komunitas lain didasarkan atas prinsip: (a) bertetangga baik; (b) saling membantu menghadapi musuh bersama; (c) membela mereka yang teraniaya; (d) saling menasehati; (e) menghormati kebebasan beragama.

Narasi tersebut di atas sesungguhnya membuka cakrawala pemikiran bahwa Islam bukanlah semata-mata berorientasi pada dakwah yang substansinya mengarah pada persoalan keakhiratan, namun argument ini tidak secara sederhana kemudian membelokan pemikiran bahwa Islam berorientasi pada kekuasaan dan politik semata. Dalam hal ini perlu kiranya penulis paparkan beberapa argument yang dikemukakan orientalis yang menurut penulis begitu objektiv memandang Islam.
1.    Dr. V. Fitzgeral, mengemukakan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion) namun juga merupakan sebuah system politik (a political system) meskipun pada decade-dekade terakhir ada beberapa kalangan umat Islam sendiri mengklaim sebagai kalangan modernis yang berusaha memisahkan kedua sisi tersebut namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun di atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
2.    Prof. C.A. Nallino, mengatakan bahwa Muhammad SAW telah membangun dalam waktu bersamaan agama dan Negara. Dan batas-batas territorial Negara yang dibangun tersebut terjaga sepanjang hayat.
3.    Dr. Schacht yang mengatakan bahwa Islam lebih dari sekedar agama. Ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana ia merupakan system peradaban yang lengkap mencakup agama dan Negara secara bersamaan
4.    Prof. R. Stothmann, mengatakan bahwa Islaam adalah suatu fenomena agama dan politik karena pembangunnya adalah seorang Nabi yang juga seorang politikus bijaksana atau seorang negarawan
5.    Prof. D.B. Macdonald yang mengatakan bahwa di sini ( di Madinah) dibangun Negara Islam yang pertama dan diletakkan prinsip-prinsip utama Undang-Undang Islam
6.    Prof. HAR Gibb mengemukakan bahwa Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam system pemerintahan, perundang-undangan, dan institusi.

Beberapa argumentasi yang dikemukakan para orientalis tersebut sesungguhnya membantah pendapat sebagian komunitas muslim yang berusaha memisahkan antara politik dan Negara. Otoritas Muhammad SAW didasarkan pada kenabian yang berasal dari wahyu dan bertanggungjawab kepada Allah SWT. Kepemimpinannya atas kaumnya dipertimbangkan oleh masyarakat sebagai kontrak social di mana orang dengan berbagai latar belakang etnis dan agama setuju hidup bersama.  Kontrak social inilah yang kemudian menjadi embrio munculnya sebuah system politik  dan ketatanegaraan di Madinah.
 
Penutup

Episode hidup Muhammad SAW memiliki relevansi yang sangat signifikan terhadap perkembangan peradaban Islam, bahkan berimplikasi terhadap perkembangan peradaban dunia. Tokoh fenomenal ini telah membangun prinsip dasar sebuah masyarakat ideal yang tertuang dalam sebuah deklarasi atau nota kesepakatan yang dikenal dengan “Piagam Madinah”.

Piagam Madinah ini menjadi Undang-Undang ketatangeraan Islam pertama bahkan pertama di dunia. Piagam Madinah tersebut pada prinsipnya mengandung 2 hal pokok yaitu: 1) semua pemeluk  Islam meskipun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas; 2) hubungan antar sesama komunitas Islam dan antara anggota komunitas lain didasarkan atas prinsip: (a) bertetangga baik; (b) saling membantu menghadapi musuh bersama; (c) membela mereka yang teraniaya; (d) saling menasehati; (e) menghormati kebebasan beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar