KONSEP KAFIR DALAM KERANGKA TEOLOGI KHAWARIJ
Oleh : Ahmad Munadi
Pendahuluan
Islam adalah agama kedamaian
yang menyeru pemeluknya hidup damai, karena itulah kemudian islam
menyediakan prinsip-prinsip umum mengenai tata cara hidup perseorangan,
keluarga, masyarakat, negara, dan dunia demi menjamin perdamaian dan
stabilitas keadilan ( lihat : Osman : h. xxvii ), namun sejarah mencatat
ternyata banyak peristiwa-peristiwa dalam sejarah islam yang justru
memudarkan kedamaian yang melekat pada islam. Islam pada sisi yang lain
ternyata memiliki sejarah suram yang melahirkan perpecahan umat, dengan
demikian fakta sejarah tersebut sangat kontras dengan semangat islam
yang sejatinya sebagai agama penebar rahmat bagi kehidupan ( rahmatan lil 'alamin ).
Catatan hitam sejarah islam dimulai dengan peristiwa terbunuhnya Usman
oleh oknum yang tidak puas terhadap kebijakan politiknya, yang kemudian
selanjutnya berkembang menjadi kontak senjata antara pihak yang
mengatasnamakan diri sebagai kelompok penuntut balas kematian Usman,
yang dalam hal ini adalah Siti Aisyah dan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Kedua kelompok ini kemudian melakukan kontak senjata dengan pasukan
pemerintah yang sah yaitu Ali bin Abu Tholib. Siti Aisyah terlibat
kontak senjata dengan Ali pada perang Jamal, sementara Muawiyah bin Abu
Sufyan adu senjata dengan pasukan Ali pada perang Shiffin.
Perpecahan dan pertikaian yang
berlarut-larut di kalangan umat islam inilah yang kemudian menjadi isue
teologis yang serius, sehingga menyebabkan munculnya sekte-sekte dalam
islam yang sekaligus menjadi daftar awal munculnya firqah teologis dalam
islam. Sebut saja Khawarij di mana kelompok ini menjadi embrio yang
melahirkan sekte-sekte teologis dalam islam, walaupun dalam sejarah
kelompok ini lebih nampak sebagai sebuah gerakan politis, namun isue
politik ini justru membias menjadi persoalan teologi yang begitu serius
bahkan memancing lahirnya sekte-sekte teologi lainnya. Khawarij dengan
begitu radikal melegalisasikan istilah "kafir" kepada setiap orang yang
berhaluan gerakan dengan mereka. Kafir tidak lagi milik orang-orang yang
ada di luar islam, namun kafir menjadi "mungkin" menurut Khawarij untuk
orang-orang islam sendiri. Lalu bagaimana sebenarnya konsep kafir yang
dikembangkan Khawarij dan mengapa Khawarij memiliki pandangan seperti
itu???
Lintas Sejarah Khawarij
Khawarij adalah sebuah aliran teologi, di mana istilah "khawarij" berasal dari kata kharaja bentuk jama' dari kata kharij yang
berarti keluar dan memisahkan diri dari barisan Ali bin Abi Tholib (
lihat : Ghazali : hal 157), Pemisahan diri ini tentu saja merupakan
bentuk ketidaksepahaman mereka terhadap kebijakan Ali yang menerima
arbitrase, bahkan Asy Syarastany menyebutnya sebagai sebuah
pemberontakan terhadap imam sah yang diakui rakyat. ( lihat : Ghazali
hal. 57). Watt menyebutkan bahwa pasca terbunuhnya Usman di Madinah
tahun 656 M merupakan titik awal yang tepat untuk studi pemikiran islam
khususnya studi tentang Khawarij ( lihat : Watt hal 9 ), karena itulah
kemudian ulasan sejarah kemunculan Khawarij ini penulis mulai dari
tragedi pasca terbunuhnya khalifah Usman.
Ali yang dinobatkan sebagai
pengganti Usman sebagai khalifah dituntut untuk mengambil langkah dalam
upaya menghukum orang-orang yang harus betanggung jawab atas kematian
Usman, namun ketika itu Ali tidak mengambil kebijakan yang konkrit dalam
menyelesaikan secara hukum kasus kematian Usman, sehingga akhirnya
munculah dua kekuatan besar yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok
yang akan menuntut balas kematian Usman. Mereka itu adalah kelompok
Muawiyah bin Abu Sufyan dan kelompok Aisyah, Talhah, dan Zubaer.
Kelompok Aisyah melakukan kontak senjata dengan Ali pada perang Jamal,
walaupun kelompok ini menurut Watt mengklaim hendak menegakan penerapan
hukum terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan secara adil,
tampaknya mereka tidak memiliki posisi keagamaan yang jelas dan mungkin
lebih dipengaruhi oleh kepentingan pribadi ( lihat : Watt hal 13 ).
Kepentingan-kepentingan tersebut nampak dari apa yang dikemukakan
Syalabi bahwa penuntutan bela yang dilakukkan Aisyah atas kematian Usman
pada dasarnya dipengaruhi tiga faktor yaitu : 1). Sejak dulu telah ada
ketegangan antara Ali dan Aisyah terutama pada peristiwa Haditsul Ifk dimana
pendirian Ali memberatkan Aisyah ; 2). Ali pernah menyaingi Abu Bakar
dalam pemilihan khalifah. Lama Ali baru kemudian memberiakan bai'ahnya
kepada Abu Bakar. Sekarang mengapa Aisyah akan lekas saja membai'ah Ali,
dan mengapa akan dibiarkannya saja Ali menikmati jabatan tersebut? ;
dan 3). Faktor yang lebih penting adalah terkait Abdullah bin Zubaer
yaitu putra saudarinya Asma yang diangkat menjadi anak oleh Aisyah,
karena telah ditakdirkan Tuhan, Aisyah tidak dikaruniai anak. Abdullah
bin Zubaer memiliki ambisi menduduki kursi khalifah, tetapi keinginannya
terhalang Ali, maka dihasutnyalah Aisyah - bibinya - untuk menceburkan
diri dalam peperangan melawan Ali. ( lihat : Syalabi hal 288). Faktor
tersebut di atas tentu saja membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa
kontak senjata yang dilakukan Aisyah ternyata banyak dipengaruhi
kepentingan-kepentingan pribadi. Sebagai keluarga dekat, Aisyah yang
sejatinya memberikan dukungan kepada Ali justru malah menjadi ancaman
terhadap kelangsungan pemerintahan Ali bin Abi Tholib.
Usai menghadapi pasukan Aisyah
pada perang Jamal, ternyata tidak serta merta sebagai tanda usainya
peperangan, namun sebaliknya justru pasukan Ali disambut kembali oleh
pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan yang kemudian dikenal dengan perang
Shiffin, akan tetapi kontak senjata ini berakhir di meja perundingan.
Dua tokoh tampil masing-masing sebagai juru damai dan wakil dari pihak
Ali dan Muawiyah yakni Abu Musa Al Asyari dan Amru bin Ash ( lihat :
Ghazali hal 161). Penyelesaian sengketa dengan jalan arbitrase ini
ternyata tidak diterima sepenuhnya oleh sebagian pasukan Ali.
Penyelesaian sengketa dengan cara ini bukan merupakan penyelesaian
menurut apa yang diturunkan Tuhan, dengan demikian mereka yang
menyetujui arbitrase itu telah menjadi kafir ( lihat : Harun hal 31).
Mereka memandang Ali telah berbuat salah, karena itu mereka meninggalkan
barisannya. Kelompok inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai kaum
Khawarij.
Dari sini kemudian terlihat
jelas bahwa, isue politik yang semula berhembus seketika itu juga
berubah menjadi isue teologi yang begitu serius, betapa tidak....!!
label kafir yang sejatinya digunakan dengan sangat hati-hati, ternyata
oleh Khawarij digunakan secara bebas. Khawarij mempertanyakan status
keimanan orang-orang yang terlibat dalam arbitrase apakah mereka masih
beriman ataukah sebaliknya telah menjadi kafir, sebab arbitrase menurut
pandangan Khawarij telah menentang hukum Tuhan.
Konsep Kafir dalam kerangka teologi Khawarij
Persoalan pergantian tumpuk
kepemimpinan pasca Rasulullah SAW merupakan titik sentral pertikaian
yang berlarut-larut sepanjang sejarah islam. Khawarij yang tidak
menyetujui penyelesaian sengketa antara Ali dan Muawiyah dengan jalan
arbitrase, menuduh setiap orang yang terlibat dalam arbitrase itu
sebagai orang-orang kafir dan telah keluar dari islam, sebab
penyelesaian sengketa dengan jalan ini tidak dibenarkan Tuhan karena
tidak sesuai dengan hukum Tuhan, Khawarij memperkuat argumennya dengan
surat al Maidah 44 "Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Tuhan adalah kafir". Ayat
ini difahami secara harfiah oleh kaum Khawarij, hal ini disebabkan
karena mereka berasal dari Arab Badui yang jauh dari ilmu pengetahuan,
sehingga doktrin-doktrin dalam al Quran dan Hadits mereka fahami menurut
lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Karena itulah kemudian,
iman dalam faham mereka merupakan pemahaman iman dalam konteks pemikiran
yang sederhana dan sempit serta fanatik, sehingga mereka tidak bisa
kompromi terhadap penyimpangan yang terjadi ( lihat : Harun hal 15 ).
Label kafir pun selanjutnya begitu enteng diberikan kepada siapa saja
yang menurut mereka menyimpang dari ajaran islam, termasuk kasus
arbitrase yang melibatkan Ali dan Muawiyah yang menurut sudut pandang
mereka telah menyimpang dari ajaran Islam, sehingga mereka pantas
dibunuh.
Untuk memahami konsep kafir dalam teologi Khawarij, Toshihiko Izutsu ( lihat : Izutsu hal 8-9 ) memberikan gambaran perbedaan konsep kafir versi al Quran dan versi Khawarij dengan sebuah lingkaran di mana konsep kafir versi al Quran memberikan perbedaan yang jelas antara muslim dan kafir. Semua muslim adalah anggota masyarakat dari masyarakat muslim dan seluruhnya berada di dalam lingkaran. Sementara mereka yang berada di luar lingkaran adalah mereka yang berlawanan dengan masyarakat yang berada di dalam lingkaran ( masyarakat kafir ) dan mereka yang berada di luar lingkaran tidak diizinkan memasuki lingkaran untuk menjadi bagian dari mereka yang berada di dalam lingkaran kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Gambaran ini menurut Izutsu merupakan konsep ideal yang dibangun untuk menunjukan konstruksi masyarakat muslim. Namun dalam kenyataannya, syarat formal yang ditetapkan terhadap kelompok masyarakat yang berada di dalam lingkaran tidak ketat, menyebabkan banyak orang yang keyakinannya meragukan dapat dengan mudah masuk menjadi anggota masyarakat yang ada di dalam lingkaran. Dengan demikian masayarakat muslim yang berada di dalam lingkaran tidak lagi menjadi masyarakat muslim yang sejati karena telah dicemari dan terinveksi oleh "muslim-muslim yang meragukan", inilah konsep kafir berdasarkan kerangka teologi yang dibangun kaum Khawarij.
Penutup
Ketegangan politik yang berhembus pasca lengsernya pemerintahan Usman pada akhirnya menimbulkan persoalan teologi. Penyelesaian sengketa antara Ali dan Muawiyah melalui jalan arbitrase dinilai Khawarij sebagai sebuah penyimpangan terhadap hukum Tuhan, sehingga vonis kafir menjadi pilihan yang tepat terhadap mereka yang terlibat dalam arbitrase. Dengan demikian, label "kafir" bukan lagi persoalan politik, namun mengarah menjadi persoalan teologi yang serius, sebab istilah "kafir" merupakan istilah yang senantiasa dikontraskan dengan "iman", sehingga persoalan "kafir" sesungguhnya menjadi wilayah yang sangat sensitif untuk dijamah.
Vonis kafir yang sejatinya diberikan kepada mereka yang berada di luar islam, ternyata oleh Khawarij direkonstruksi secara radikal, sehingga vonis kafir tidak hanya menjadi milik mereka yang berada di luar islam, akan tetapi berhak juga disandang oleh kaum muslim sendiri. Wallahu A'lam.
Referensi
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ( Jakarta : UI Press, 1996 )
____________, Teologi Islam , ( Jakarta : UI Press, 1986 )
Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer, ( Bandung : Pustaka Setia, 2005 )
W. Montagomery Watt, Studi Islam Klasik, ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1999 )
Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1994)
Muhammed Fathi Osman, Islam Pluralis & Toleransi Keagamaan, ( Jakarta : PISK Paramadina, 2006 )
Ahamd Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, ( Jakarta : Pustaka al Husna, 1990 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar