Pages

Rabu, 24 Oktober 2012

KONSEP KAFIR DALAM KERANGKA TEOLOGI KHAWARIJ

Oleh : Ahmad Munadi


Pendahuluan
Islam adalah agama kedamaian yang menyeru pemeluknya hidup damai, karena itulah kemudian islam menyediakan prinsip-prinsip umum mengenai tata cara hidup perseorangan, keluarga, masyarakat, negara, dan dunia demi menjamin perdamaian dan stabilitas keadilan ( lihat : Osman : h. xxvii ), namun sejarah mencatat ternyata banyak peristiwa-peristiwa dalam sejarah islam yang justru memudarkan kedamaian yang melekat pada islam. Islam pada sisi yang lain ternyata memiliki sejarah suram yang melahirkan perpecahan umat, dengan demikian fakta sejarah tersebut sangat kontras dengan semangat islam yang sejatinya  sebagai agama penebar rahmat bagi kehidupan ( rahmatan lil 'alamin ). Catatan hitam sejarah islam dimulai dengan peristiwa terbunuhnya Usman oleh oknum yang tidak puas terhadap kebijakan politiknya, yang kemudian selanjutnya berkembang menjadi kontak senjata antara pihak yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok penuntut balas kematian Usman, yang dalam hal ini adalah Siti Aisyah dan Muawiyah bin Abu Sufyan.  Kedua kelompok ini kemudian melakukan kontak senjata dengan pasukan pemerintah yang sah yaitu Ali bin Abu Tholib. Siti Aisyah terlibat kontak senjata dengan Ali pada perang Jamal, sementara Muawiyah bin Abu Sufyan adu senjata dengan pasukan Ali pada perang Shiffin.

Perpecahan dan pertikaian yang berlarut-larut di kalangan umat islam inilah yang kemudian menjadi isue teologis yang serius, sehingga menyebabkan munculnya sekte-sekte dalam islam yang sekaligus menjadi daftar awal munculnya firqah teologis dalam islam. Sebut saja Khawarij di mana kelompok ini menjadi embrio yang melahirkan sekte-sekte teologis dalam islam, walaupun dalam sejarah kelompok ini lebih nampak sebagai sebuah gerakan politis, namun isue politik ini justru membias menjadi persoalan teologi yang begitu serius bahkan memancing lahirnya sekte-sekte teologi lainnya. Khawarij dengan begitu radikal melegalisasikan istilah "kafir" kepada setiap orang yang berhaluan gerakan dengan mereka. Kafir tidak lagi milik orang-orang yang ada di luar islam, namun kafir menjadi "mungkin" menurut Khawarij untuk orang-orang islam sendiri. Lalu bagaimana sebenarnya konsep kafir yang dikembangkan Khawarij dan mengapa Khawarij memiliki pandangan seperti itu???

Lintas Sejarah Khawarij
Khawarij adalah sebuah aliran teologi, di mana istilah "khawarij" berasal dari kata kharaja bentuk jama' dari kata kharij  yang berarti keluar dan memisahkan diri dari barisan Ali bin Abi Tholib ( lihat : Ghazali : hal 157), Pemisahan diri ini tentu saja merupakan bentuk ketidaksepahaman mereka terhadap kebijakan Ali yang menerima arbitrase, bahkan Asy Syarastany menyebutnya sebagai sebuah pemberontakan terhadap imam sah yang diakui rakyat. ( lihat : Ghazali hal. 57). Watt menyebutkan bahwa pasca terbunuhnya Usman di Madinah tahun 656 M merupakan titik awal yang tepat untuk studi pemikiran islam khususnya studi tentang Khawarij (  lihat : Watt hal 9 ), karena itulah kemudian ulasan sejarah kemunculan Khawarij ini penulis mulai dari tragedi pasca terbunuhnya khalifah Usman.

Ali yang dinobatkan sebagai pengganti Usman sebagai khalifah dituntut untuk mengambil langkah dalam upaya menghukum orang-orang yang harus betanggung jawab atas kematian Usman, namun ketika itu Ali tidak mengambil kebijakan yang konkrit dalam menyelesaikan secara hukum kasus kematian Usman, sehingga akhirnya munculah dua kekuatan besar yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok yang akan menuntut balas kematian Usman. Mereka itu adalah kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan dan kelompok Aisyah, Talhah, dan Zubaer. Kelompok Aisyah  melakukan kontak senjata dengan Ali pada perang Jamal, walaupun kelompok ini menurut Watt mengklaim hendak menegakan penerapan hukum terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan secara adil, tampaknya mereka tidak memiliki posisi keagamaan yang jelas dan mungkin lebih dipengaruhi oleh kepentingan pribadi ( lihat : Watt hal 13 ). Kepentingan-kepentingan tersebut nampak dari apa yang dikemukakan Syalabi bahwa penuntutan bela yang dilakukkan Aisyah atas kematian Usman pada dasarnya dipengaruhi tiga faktor yaitu : 1). Sejak dulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah terutama pada peristiwa Haditsul Ifk dimana pendirian Ali memberatkan Aisyah ; 2). Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan khalifah. Lama Ali baru kemudian memberiakan bai'ahnya kepada Abu Bakar. Sekarang mengapa Aisyah akan lekas saja membai'ah Ali, dan mengapa akan dibiarkannya saja Ali menikmati jabatan tersebut? ; dan 3). Faktor yang lebih penting adalah terkait Abdullah bin Zubaer yaitu putra saudarinya Asma yang diangkat menjadi anak oleh Aisyah, karena telah ditakdirkan Tuhan, Aisyah tidak dikaruniai anak. Abdullah bin Zubaer memiliki ambisi menduduki kursi khalifah, tetapi keinginannya terhalang Ali, maka dihasutnyalah Aisyah - bibinya - untuk menceburkan diri dalam peperangan melawan Ali. ( lihat : Syalabi hal 288). Faktor tersebut di atas tentu saja membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa kontak senjata yang dilakukan Aisyah ternyata banyak dipengaruhi kepentingan-kepentingan pribadi. Sebagai keluarga dekat, Aisyah yang sejatinya memberikan dukungan kepada Ali justru malah menjadi ancaman terhadap kelangsungan pemerintahan Ali bin Abi Tholib. 

Usai menghadapi pasukan Aisyah pada perang Jamal, ternyata tidak serta merta sebagai tanda usainya peperangan, namun sebaliknya justru pasukan Ali disambut kembali oleh pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan yang kemudian dikenal dengan perang Shiffin, akan tetapi kontak senjata ini berakhir di meja perundingan. Dua tokoh tampil masing-masing sebagai juru damai dan wakil dari pihak Ali dan Muawiyah yakni Abu Musa Al Asyari dan Amru bin Ash ( lihat : Ghazali hal 161). Penyelesaian sengketa dengan jalan arbitrase ini ternyata tidak diterima sepenuhnya oleh sebagian pasukan Ali. Penyelesaian sengketa dengan cara ini bukan merupakan penyelesaian menurut apa yang diturunkan Tuhan, dengan demikian mereka yang menyetujui arbitrase itu telah menjadi kafir ( lihat : Harun hal 31). Mereka memandang Ali telah berbuat salah, karena itu mereka meninggalkan barisannya. Kelompok inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai kaum Khawarij.

Dari sini kemudian terlihat jelas bahwa, isue politik yang semula berhembus seketika itu juga berubah menjadi isue teologi yang begitu serius, betapa tidak....!! label kafir yang sejatinya digunakan dengan sangat hati-hati, ternyata oleh Khawarij digunakan secara bebas. Khawarij mempertanyakan status keimanan orang-orang yang terlibat dalam arbitrase apakah mereka masih beriman ataukah sebaliknya telah menjadi kafir, sebab arbitrase menurut pandangan Khawarij telah menentang hukum Tuhan.

Konsep Kafir dalam kerangka teologi Khawarij
Persoalan pergantian tumpuk kepemimpinan pasca Rasulullah SAW merupakan titik sentral pertikaian yang berlarut-larut sepanjang sejarah islam. Khawarij yang tidak menyetujui penyelesaian sengketa antara Ali dan Muawiyah dengan jalan arbitrase, menuduh setiap orang yang terlibat dalam arbitrase itu sebagai orang-orang kafir dan telah keluar dari islam, sebab penyelesaian sengketa dengan jalan ini tidak dibenarkan Tuhan karena tidak sesuai dengan hukum Tuhan, Khawarij memperkuat argumennya dengan surat al Maidah 44 "Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Tuhan adalah kafir". Ayat ini difahami secara harfiah oleh kaum Khawarij, hal ini disebabkan karena mereka berasal dari Arab Badui yang jauh dari ilmu pengetahuan, sehingga doktrin-doktrin dalam al Quran dan Hadits mereka fahami menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Karena itulah kemudian, iman dalam faham mereka merupakan pemahaman iman dalam konteks pemikiran yang sederhana dan sempit serta fanatik, sehingga mereka tidak bisa kompromi terhadap penyimpangan yang terjadi ( lihat : Harun hal 15 ). Label kafir pun selanjutnya begitu enteng diberikan kepada siapa saja yang menurut mereka menyimpang dari ajaran islam, termasuk kasus arbitrase yang melibatkan Ali dan Muawiyah yang menurut sudut pandang mereka telah menyimpang dari ajaran Islam,  sehingga mereka pantas dibunuh.
Kafir dan non kafir merupakan persolan mendasar dalam islam, sebab tidak seorang pun yang dapat memungkiri bahwa kafir dan non kafir atau dalam hal ini terkait konsep keyakinan merupakan inti yang paling esensial dari agama. Dengan demikian, jika persoalan-persoalan teologis yang dimunculkan dari pertikaian politik sebagaimana kasus Khawarij ini disimpulkan, ternyata yang menjadi inti paham Khawarij terutama berkenaan dengan "iman dan amal" ( lihat : Ghazali hal 164), yakni seseorang yang melakukan dosa besar apakah masih  mukmin atau kafir. Persoalan ini tentu saja menggiring kita pada kesimpulan bahwa istiah kafir bukan lagi untuk orang-orang di luar islam, namun istilah kafir juga menjadi mungkin untuk orang-orang islam sendiri. Lalu persoalannya kemudian adalah mengapa istilah kafir dalam teologi Khawarij secara radikal mengalami pergeseran makna??

Untuk memahami konsep kafir dalam teologi Khawarij, Toshihiko Izutsu  ( lihat : Izutsu hal 8-9 ) memberikan gambaran perbedaan konsep kafir versi al Quran dan versi Khawarij dengan sebuah lingkaran di mana konsep kafir versi al Quran memberikan perbedaan yang jelas antara muslim dan kafir. Semua muslim adalah anggota masyarakat dari masyarakat muslim dan seluruhnya berada di dalam lingkaran. Sementara mereka yang berada di luar lingkaran adalah mereka yang berlawanan dengan masyarakat yang berada di dalam lingkaran ( masyarakat kafir ) dan mereka yang berada di luar lingkaran tidak diizinkan memasuki lingkaran untuk menjadi bagian dari mereka yang berada di dalam lingkaran kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Gambaran ini menurut Izutsu merupakan konsep ideal yang dibangun untuk menunjukan konstruksi masyarakat muslim. Namun dalam kenyataannya, syarat formal yang ditetapkan  terhadap kelompok masyarakat yang berada di dalam lingkaran tidak ketat, menyebabkan banyak orang yang keyakinannya meragukan dapat dengan mudah masuk menjadi anggota masyarakat yang ada di dalam lingkaran. Dengan demikian masayarakat muslim yang berada di dalam lingkaran tidak lagi menjadi masyarakat muslim yang sejati karena telah dicemari dan terinveksi oleh "muslim-muslim yang meragukan", inilah konsep kafir berdasarkan kerangka teologi yang dibangun kaum Khawarij.

Penutup

Ketegangan politik yang berhembus pasca lengsernya pemerintahan Usman pada akhirnya menimbulkan persoalan teologi. Penyelesaian sengketa antara Ali dan Muawiyah melalui jalan arbitrase dinilai Khawarij sebagai sebuah penyimpangan terhadap hukum Tuhan, sehingga vonis kafir menjadi pilihan yang tepat terhadap mereka yang terlibat dalam arbitrase. Dengan demikian, label "kafir" bukan lagi persoalan politik, namun mengarah menjadi persoalan teologi yang serius, sebab istilah "kafir" merupakan istilah yang senantiasa dikontraskan dengan "iman", sehingga persoalan "kafir" sesungguhnya menjadi wilayah yang sangat sensitif untuk dijamah.
Vonis kafir yang sejatinya diberikan kepada mereka yang berada di luar islam, ternyata oleh Khawarij direkonstruksi secara radikal, sehingga vonis kafir tidak hanya menjadi milik mereka yang berada di luar islam, akan tetapi berhak juga disandang oleh kaum muslim sendiri. Wallahu A'lam.

Referensi

Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ( Jakarta : UI Press, 1996 )
____________, Teologi Islam , ( Jakarta : UI Press, 1986 )
Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer, ( Bandung : Pustaka Setia, 2005 )
W. Montagomery Watt, Studi Islam Klasik, ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1999 )
Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam, ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1994)
Muhammed Fathi Osman, Islam Pluralis & Toleransi Keagamaan, ( Jakarta : PISK Paramadina, 2006 )
Ahamd Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, ( Jakarta : Pustaka al Husna, 1990 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar