Pages

Minggu, 24 Februari 2013

REFLEKSI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER TGKH. M. ZAINUDDIN ABDUL MADJID DALAM WASIAT RENUNGAN MASA PENGALAMAN BARU

Oleh:

Ahmad Munadi



Degradasi moral yang melanda negeri ini merupakan persoalan penting yang menjadi tugas berat yang harus dipikul para praktisi pendidikan. Degradasi moral muncul sebagai akibat pudarnya karakter bangsa. Tergerusnya karakter tersebut dipicu karena terjadinya disorientasi pendidikan di mana pendidikan terjebak pada cognitive oriented yang selanjutnya mempertegas irelevansi antara aspek kognitif (pengetahuan) dengan karakter yang sejatinya dimiliki oleh peserta didik. Cognitive Oriented yang diharapkan menjadi basis kekuatan moral justru menjadi faktor munculnya degradasi moral. Dengan demikian diperlukan sebuah kajian yang lebih komprehensif terkait nilai-nilai karakter yang diharapkan dapat menjadi solusi dalam rangka mengatasi problem pendidikan tersebut.

Internalisasi nilai-nilai karakter atau pendidikan karakter bukanlah terminologi baru yang menjadi perbincangan para pakar pendidikan saat ini. Jika ditelusuri, geliat terminologi pendidikan karakter sesungguhnya telah lama mengakar dalam sejarah pendidikan itu sendiri. Pada abad ke 8 SM misalnya Homeros pernah menawarkan konsep pendidikan karakter dalam masyarakat Yunani kuno yang menekankan pertumbuhan individu secara utuh dengan mengembangkan potensi fisik dan moral. Pada abad ke 18, terminologi ini kemudian mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun perubahan sosial.

Di samping itu, tema-tema yang terkait nilai-nilai karakter (moralitas) pernah juga menjadi lahan garapan tokoh-tokoh Islam semisal Ibnu Mishkawaih. Ibnu Mishkawaih misalnya dengan doktrin “jalan tengah” dalam filsafat etikanya pernah mengemukakan bahwa perlu adanya sebuah keseimbangan dalam diri manusia yang  selanjutnya  menjadi pokok akhlak mulia seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat dan sebagainya. Nilai-nilai kejujuran, ikhlas, kasih sayang, hemat, tersebut merupakan karakter yang harus terintegrasi dalam proses pendidikan.

Dalam konteks lokal, ternyata persoalan ini pernah juga menjadi perhatian seorang tokoh karismatik masyarakat Lombok yaitu TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid selaku aktor pendiri Nahdlatul Wathan (NW) yang menjadi organisasi terbesar di NTB. TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid merupakan tokoh ulama di Pulau Lombok yang cukup concern dalam dunia pendidikan. Konsep-konsep pendidikan yang ditawarkan berbasis religious-Ethic. Gagasan ini terekam jelas dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru. TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid berpandangan bahwa segala aktivitas hendaknya dibangun atas dasar prinsip iman dan taqwa. Karena itulah kemudian nilai-nilai pendidikan karakter yang dirumuskan berlandas tumpu pada nilai-nilai ilahiyah (religius). Nilai religius inilah yang selanjutnya menjadi embrio munculnya nilai-nilai karakter lainnya, baik domain nilai karakter yang berhubungan dengan individu maupun domain nilai karakter yang berhubungan dengan lingkungan sosial.

TGKH. M. Zainudin Abdul Madjid menggagas nilai-nilai pendidikan karakter dalam membangun karakter bangsa yang dikemas dalam syair-syair Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, yang kaya akan kandungan nilai-nilai pendidikan karakter. Dalam salah satu syairnya, TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid misalnya mengungkapkan:

Ya Subhanallah ajib bin heran
Sekarang mereka terputus iman
Karena lupanya kepada Tuhan
Yang telah menjamin di dalam Qur’an ( Bagian 1 Syair No 96)

Kalau diserahkan kepada mereka
Memimpin agama atau Negara
Maka kiamat agama kita
Sebelum kiamat Nusa dan Bangsa ( Bagian 1 Syair No 97)

Pada bait syair yang pertama, TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid menegaskan bahwa banyak manusia yang saat ini tidak lagi bertindak atas dasar iman, karena iman seolah telah hilang dari hatinya seiring dengan lunturnya eksistensi Tuhan di relung hatinya. Terkait persoalan ini dalam syair yang selanjutnya TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid kemudian mengemukakan bahwa jika sebuah komunitas dimotori oleh seorang yang jiwanya kosong dari rasa iman maka hancurlah komunitas tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan dalam syair tersebut bahwa jika agama dan negara dipimpin oleh seseorang yang tidak memiliki keimanan maka akan runtuhlah agama tersebut sebelum hancurnya nusa dan bangsa. Manusia diciptakan Tuhan agar selalu mengabdi kepada-Nya, bukan semata-mata terlahir ke dunia ini untuk memenuhi kebutuhan jasadiah saja. Akan tetapi manusia harus memenuhi kebutuhan ruhiyah yaitu sebagaimana mewujudkan keimanan yang bersih. Keimanan yang bersih tersebut dapat diwujudkan dengan menanamkan nilai-nilai rabbaniyah. 

Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru adalah salah satu di antara sekian banyak karya TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, karya ini cukup populer di kalangan NW karena karya ini merupakan wasiat yang sengaja ditujukan secara khusus kepada warga Nahdlatul Wathan. Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru merupakan sebuah karya yang terdiri dari kumpulan syair hasil renungan dan pengalaman hidup TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid. Syair-syair dalam karya ini terdiri dari tiga bagian. Pada bagian yang pertama terdapat 233 syair yang ditujukan kepada seluruh warga NW, kemudian pada bagian yang kedua terdapat 112 syair yang mengandung pesan untuk selalu bersatu memperjuangkan NW dan bagian yang terakhir merupakan wasiat tambahan yang terdiri dari 87 syair.

Gagasan nilai-nilai pendidikan karakter TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru terpartisi dalam 13 nilai yaitu (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Mandiri, (7) Kreatif, Gemar Membaca dan Rasa Ingin Tahu, (8) Cinta Tanah Air dan Semangat Kebangsaan, (9) Menghargai Prestasi, (10) Bersahabat/komunikatif, (11) Cinta Damai, (12) Peduli Sosial, dan (13) Tanggung Jawab.

Nilai-nilai pendidikan karakter yang ditawarkan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid memiliki relevansi yang kuat terhadap pendidikan di Indonesia yang saat ini dihadapkan pada persoalan degradasi moral. Degradasi moral ini nampaknya dipicu oleh orientasi pendidikan yang terjebak pada cognitive oriented yang selanjutnya menumbuhsuburkan irelevansi antara ilmu dan akhlak. Sejalan dengan hal tersebut, maka pendidikan sejatinya tidak hanya terbatas pada transformasi ilmu pengetahuan yang menjurus pada peningkatan kemampuan intelektual semata, tetapi juga berorientasi pada internalisasi nilai-nilai moral.

Dengan merefleksikan gagasan nilai-nilai karakter TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, maka para aktor pendidikan sejatinya menjadikan pendidikan karakter sebagai skala prioritas pembangunan pendidikan di negeri ini. Gagasan nilai karakter yang ditawarkan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru memiliki relevansi yang cukup kuat dalam konteks pendidikan Indonesia. Relevansi tersebut terekam jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia. Kedua kata kunci ini tentu saja sangat relevan dengan nilai religius yang menjurus pada ikhtiar untuk membangun sinergitas tiga ranah, kognitif-afektif-psikomotorik sebagai langkah dalam mendobrak irrelevansi antara ilmu dan akhlak (moralitas) siswa.


Minggu, 03 Februari 2013

REFLEKSI ATAS PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW


REFLEKSI ATAS PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Oleh: Ahmad Munadi


Muhammad pantas dikagumi
Jikalau kita membuka lembaran-lembaran sejarah umat Islam, tentu kita akan tertegun sekaligus merasa bangga kepada sosok panutan umat, sang reformis sejati yang telah berhasil mereformasi kehidupan manusia dengan membangun sebuah tatanan kehidupan yang etis dan egaletarian di atas pondasi keimanan yang tegak berdiri hingga hari ini.
Sejarah mencatat bahwa hingga detik ini, belum terdapat satu sosok manusia hebat yang mampu menandingi kebesaran dan kehebatan Muhammad, karena itulah kemudian tidak mengherankan jika Michael Hart dalam bukunya “The 100 a Ranking of the Most Influence person in History” memposisikan Muhammad pada Top Person deretan orang-orang hebat dan berpengaruh di dunia, bahkan Tuhan sendiri di dalam al Quran memuji kebesaran Muhammad, “..dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti agung (QS. Al Qalam: 3).
Banyak orang besar di dunia yang dipuja dan dikagumi bangsanya, namun justru bangsa lain tidak pernah merasa bangga kepadanya. Musthofa Kamal al Tatruk misalnya, dipuja dan dibesarkan oleh bangsa Turki serta disebut-sebut sebagai “bapak orang-orang Turki”, namun justru bangsa lain tidak pernah merasa bangga. Kirchof yang dipuja dan dibanggakan oleh orang-orang Rusia malah dianggap Amerika sebagai orang ‘gila’. Kennedy yang oleh Amerika disebut sebagai icon orang hebat, malah bangsa lain hanya memandangnya sebelah mata. Demikian seterusnya, tidak akan pernah ada sosok yang mampu menandingi kebesaran dan kehebatan Muhammad. Tidak ada orang hebat dalam sejarah dunia yang namanya dipampang di samping nama Tuhan, tapi Muhammad namanya selalu disandingkan dengan nama Tuhan, bahkan sholat tentu tidak akan sah tanpa menyebut nama Muhammad.
Alfa Edison dengan listriknya dikatakan sebagai orang yang berjasa dalam menerangi sudut gelap dunia. Mark Zuckerberg dengan facebook-nya mampu membangun sebuah peradaban “dunia maya” yang kekuatannya mampu menghubungkan manusia sejagat. Telkomsel dengan signalnya yang kuat mampu membangun jaringan komunikasi hingga ke pelosok negeri. Namun Muhammad dengan al Qura>nnya yang super hebat mampu membangun sebuah jaringan komunikasi yang luar biasa, bebas pulsa, bebas hambatan yang signalnya tidak hanya menembus komunikasi antar manusia sejagat, namun mampu membangun sebuah jaringan komunikasi dengan Tuhan. Dengan demikian sangat pantaslah Muhammad dipuja dan dibesar-besarkan tidak hanya oleh umatnya namun juga oleh seluruh umat di dunia ini.
Begitu besar sosok Muhammad sehingga tidak mengherankan kemudian jika kaum muslimin setiap kali memasuki bulan Rabiul Awal, senantiasa disibukkan dengan berbagai macam kegiatan religius sebagai sebuah wahana apresiasi terhadap sosok Muhammad yang notabenenya  merupakan sosok figur panutan umat yang patut diacungkan jempol, bahkan al Quran sendiri memuji keteladanan Muhammad “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu...” (QS. al Ahzab: 21).

Maulid Rasul antara harapan dan realita
Al Quran mengilustrasikan bahwa pristiwa-pristiwa yang terjadi masa silam bukanlah semata-mata sebuah kenangan yang hampa akan makna, namun lebih dari itu bahkan merupakan pristiwa-pristiwa sejarah yang sarat akan pelajaran dan ibrah, ...”ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (QS. al Hashr) dan pada ayat yang lain dikatakan “sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Yusuf: 111).
Demikianlah Allah mengilustrasikan bahwa pristiwa dan kejadian masa silam penuh dengan ibrah dan pelajaran yang tentu saja hendaknya dijadikan sebagai motivasi dan kekuatan baru untuk menatap masa depan yang lebih baik, namun sayang ternyata nilai-nilai yang seharusnya menjadi power  dan ruh pada moment-moment penting, seperti Maulid Nabi tersebut telah ternodai dan terkontaminasi oleh virus-virus hedonisme dan persaingan strata sosial.
Perayaan Maulid Nabi sesungguhnya pertama kali diperkenalkan oleh Shalahuddin al Ayyubi pada abad ke XII sebagai upaya membangkitkan semangat umat Islam yang kendor di tengah-tengah kehancuran ketika itu dengan meneladani semangat dan episode perjuangan Rasulullah melalui sebuah perayaan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa Maulid pertama kali dalam sejarah Islam diselenggarakan oleh penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir, yaitu Mu’iz Li Dinillah (341 H/953 M – 365 H/975 M). Al Sandubi seorang sejarawan mengemukakan bahwa perayaan maulid diselenggarakan oleh Muiz dimotivasi oleh keinginannya menjadi seorang penguasa yang populer di kalangan Syiah. Dalam menyelenggarakannya mereka memberikan hadiah kepada orang-orang tertentu seperti penjaga masjid, perawat makam, dan sebagainya.
Setelah Dinasti Fatimiyah, perayaan maulid selanjutnya dilakukan oleh orang-orang sunni yang ketika itu diselenggarakan oleh Sultan Atabek Nuruddin (569 H) yang merupakan seorang penguasa di Shuriah. Perayaan maulid ketika itu dilaksanakan pada malam hari dengan mendeklamasikan syair yang berisi puji-pujian kepada raja. Di Mosul (Irak) perayaan maulid dilaksanakan oleh seorang ulama yang bernama Umar al Malla. Perayaan maulid dilaksanakan setiap tahun dengan mengundang para tokoh masyarakat, ulama, dan fuqaha ke kediamannya. Sementara di Ibril (10 km dari Mosul), pada masa pemerintahan Muzafaruddin, perayaan maulid pertama kali dirayakan secara besar-besaran dan populer hingga ke berbagai daerah, sehingga setiap tahun perayaan ini selalu menarik perhatian orang-orang dari berbagai daerah.
Dalam perkembangan selanjutnya, perayaan maulid Nabi makin beragam corak dan warnanya, sesuai dengan perkembangan adat, tradisi, kondisi sosio-kultural masyarakat. Di Lombok umpamanya perayaan Maulid Nabi kental dengan tradisi praja, nyunatan, ngurisan dan beberapa tradisi lainnya. Jika dianalisa, perayaan Maulid Nabi di Pulau Lombok termotivasi 3 faktor: pertama: motivasi historis, secara historis umat Islam meyakini sepenuhnya legalitas Muhammad sebagai sosok figur yang berjasa membangun sebuah peradaban baru dengan melakukan sebuah reformasi yang fundamental terhadap tradisi jahiliyah yang ketika itu berada pada degradasi moral yang sangat memprihatinkan. Dalam kondisi tersebut, Muhammad selanjutnya bangkit dengan memformulasikan sebuah tatanan kehidupan yang etis dan egalitarian yang dibingkai dalam figura al Quran dan al Hadits. Dengan demikian, 12 Rabiul Awal merupakan tonggak sejarah yang memotivasi masyarakat untuk merayakan maulid Nabi sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas kehadiran beliau di tengah-tengah masyarakat dunia. Situasi dan kondisi umat yang semakin terpuruk akibat kontak budaya dan peradaban yang ‘menggila’, juga turut mengundang motivasi masyarakat untuk merayakan kelahiran Nabi sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh Shalahuddin al Ayyubi pada abad ke XII.
Kedua:  motivasi teologis, aspek teologis ternyata juga memiliki peran yang cukup strategis dalam memotivasi masyarakat merayakan maulid Nabi. Hal ini dapat dilihat dari fatwa-fatwa yang dikemukakan oleh para ulama madzhab Hanafi dan Maliki yang mengemukakan bahwa “diktum hukum yang ditetapkan dengan diktum tradisi sama dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum syar’i”. Hal yang  senada pernah juga diungkapkan oleh Syarakhsyi yang menyebutkan bahwa “menetapkan hukum dengan tradisi seolah-olah menetapkan hukum dengan nash”. Namun hukum yang ditetapkan berdasarkan tradisi tersebut sejatinya harus memiliki relevansi dan senafas dengan nilai-nilai al Quran dan al Hadits. Ketiga: motivasi filosofis-sosiologis, masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari kumpulan sekian banyak individu kecil maupun besar yang terikat oleh satuan adat, tradisi, hukum dan hidup bersama. Masyarakat akan dapat hidup tegak berdiri jika instrumen dalam masyarakat tersebut dapat berinteraksi dengan harmonis, tanpa adanya ketimpangan-ketimpangan sosial yang dapat menyuburkan benih-benih pertikaian. Dengan demikian, secara filosofis-sosiologis, perayaan maulid Nabi dapat dijadikan sebagai suplemen yang akan menggugah semangat serta sebagai pondasi yang akan memperkokoh bangunan ukhuwah masyarakat yang diwujudkan dalam sebuah kebersamaan.
Perayaan maulid Nabi yang sejatinya menjadi wahana instropeksi diri dan sekaligus sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas kepribadian dengan merenungi dan meneladani episode-episode perjuangan Nabi, ternyata tidak lebih hanya sekedar acara seremonial belaka. Bahkan jika dicermati lebih jauh, perayaan Maulid Nabi dewasa ini telah terkontaminasi dan ternodai oleh virus-virus isrof, hedonisme, hura-hura dan sebagainya. Virus-virus ini selanjutnya menjalar menggerogoti jiwa umat. Tradisi Maulid Nabi seperti ini tentu saja sudah sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai Islami yang sejatinya menjadi nafas perayaan tersebut. Padahal al Quran menegaskan “janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu  secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syaitan dan syaitan itu sesungguhnya sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS. al Isro: 26-27).
Virus-virus isrof, hedonisme, dan hura-hura yang menggerogoti masyarakat, muncul sebagai akibat semangat kompetitif yang berlebihan, sehingga hal tersebut selanjutnya berimbas pada sikap masyarakat yang tidak tanggung-tanggung mengeluarkan dana yang tidak sedikit demi merayakan Maulid Nabi. Ironisnya lagi, ada sebagian masyarakat yang rela berhutang demi merayakan maulid Nabi. Padahal perayaan tersebut tidak memberi dampak yang positif terhadap perubahan prilaku dan pola pikir yang sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi. Malah perayaan maulid Nabi ini lebih kepada bagaimana meningkatkan kuantitas “perut”, sehingga tidak mengherankan jika masyarakat (baca: Lombok) lebih populer bahkan ‘latah’ dengan istilah MULUT daripada MAULID, yang tentu saja konsekuensinya lebih kepada urusan perut. Lalu di mana esensi peringatan Maulid Nabi tersebut? Karena itulah kemudian perlu sebuah formulasi model perayaan Maulid Nabi yang lebih menggigit yang secara signifikan mampu memberi efek positif dalam mewujudkan masyarakat yang berkarakter. Wallahu A’lam.

Kamis, 25 Oktober 2012

ISLAM DAN SAINS
( Kajian terhadap pemikiran Pervez Hoodbhoy dan Osman Bakar )
Oleh:
Ahmad Munadi



Pendahuluan

Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai Tibyânan li kulli syai’ wa hudan wa busyro lil muslimîn, yang akan memberikan solusi terhadap segala persoalan manusia, karena itulah kemudian manusia berkewajiban untuk memahami petunjuk-petunjuk ( baca: al Quran ) tersebut.

Karakteristik yang membedakan Islam dengan lainnya adalah bahwa Islam memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu (sains). Al Quran menyeru kaum muslim untuk mencari dan memperoleh ilmu serta akan memberikan posisi yang tinggi bagi mereka yang memiliki pengetahuan (lihat: QS. al Mujadalah), dengan demikian tidak ada distorsi antara islam dan sains. Dalam islam, segala sesuatu berpusat pada kesatuan Tuhan (tauhid) dan sains merupakan media efektif yang akan menambah wawasan manusia akan eksistensi Tuhan. (Ghulsyani, 1996)

Korelasi al Quran dengan sains pada dasarnya menimbulkan debatable di kalangan pemikir islam, Imam Ghazali misalnya mengatakan bahwa al Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan, namun tidak demikian dengan Imam Syatibi yang mengatakan bahwa sahabat tentu lebih mengetahui kandungan al Quran, akan tetapi tidak ada seorang sahabatpun yang menyimpulkan bahwa al Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan. (Shihab, 2003)

Terlepas dari persoalan tersebut di atas, timbul pertanyaan adakah sains islam? Jika ada, bagaimana konstruksi metodologi sains islam tersebut? Dalam hal ini banyak kalangan menyimpulkan bahwa sains itu hanya untuk sains, artinya sains itu  netral – tidak ada sains islam, sains kristen, sains Hindu, sains Budha dan seterusnya - yang ditebengi oleh idiologi-idiologi tertentu, sehingga sains islam hanyalah “hayalan” belaka, yang bertujuan untuk melakukan “tebengisasi” islam dan sains dengan melakukan justifikasi sains dengan dalil-dalil idiologi. Inilah yang kemudian menjadi kecurigaan para ilmuan sementara ini.

Namun tentu saja naif kiranya jika kesimpulan tersebut di atas diamini begitu saja tanpa melakukan analisis yang lebih mendalam. Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan dipaparkan sekilas persoalan tersebut dengan melakukan kajian terhadap 2 referensi yang bersebrangan yaitu Ikhtiar Menegakan Rasionalitas antara Sains dan Ortodoksi Islam karya Pervez Hoodbhoy dengan sebuah karya dari Osman Bakar yang berjudul Tauhid  dan Sains.

Pemikiran Pervez Hoodbhoy dan Osman Bakar: Sebuah Analisis 

Dalam bukunya Ikhtiar Menegakan Rasionalitas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, Hoodbhoy memberikan gambaran terkait memprihatinkannya kondisi sains di dalam dunia islam. Hoodbhoy menuduh ortodoksi agama dan sikap intoleransi menjadi faktor utama penyebab musnahnya lembaga pengetahuan islam yang pernah jaya. Sehingga dengan begitu mudah juga melenyapkan budaya ilmiah di dunia islam. Hoodbhoy mengatakan bahwa saat ini umat islam terjebak dalam kebekuan abad pertengahan, menolak yang baru dan dengan frustasi terus bergantung pada kejayaan masa silam. (Hoodbhoy, h. 23)

Lebih lanjut Hoodbhoy (Hoodbhoy, h. 24) mengatakan bahwa sekitar 700 tahun lalu, peradaban islam hampir sepenuhnya telah kehilangan keinginan dan kemampuan  untuk memajukan sains walaupun banyak usaha-usaha yang pernah dilakukan pada periode Utsmani di Turki dan Mohammad Ali di Mesir, namun semua itu tidak mampu memulihkan kejayaan masa silam, bahkan sebagian kaum muslim tidak merasakan penyesalan terhadap kondisi ini justru mensyukurinya karena menurut mereka menjaga jarak dengan sains akan dapat memelihara islam dari pengaruh sekuler. 

Perkembangan ilmiah dan ideologi ( islam ) memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan, keabsahan kebenaran ilmiah ditentukan oleh hasil pengamatan, percobaan dan logika, namun sifat sekuler sains ini bukan berarti mengindikasikan bahwa sains tidak mengakui eksistensi tuhan. Para ilmuan bebas menganut suatu agama sefanatik mungkin, akan tetapi sains tidak mengakui satu hukum pun di luar dirinya, artinya sains bebas dari ideologi-ideologi tertentu.

Terkait persoalan ini, maka Hoodbhoy menuduh Nasr dan Sarder telah melakukan pekerjaan yang merugikan sains di negara-negara islam bila mereka menyeru pada “sains islami” yang dimotivasi secara religious, bukan secara kultural. Hoodbhoy berpendapat bahwa hanya ada satu sains yang bersifat universal, tidak ada sains Islam, sains Hindu, sains Kristen, sains Yahudi, dan sains Konghucu, serta sains-sains lain yang ditunggangi ideologi-ideologi tertentu. Jika sains ditunggangi ideologi islam misalnya akan sangat berbahaya, sebab bagaimana mungkin islam yang mengandung kebenaran abadi disandingkan dengan teori sains yang dapat berubah. Pemahaman tentang alam dapat berubah secara drastis sejalan dengan waktu dan sains tentu saja tidak akan sungkan lagi meninggalkan teori lama serta mendukung teori yang baru. (Hoodbhoy, h. 123-124) Jika hal ini terjadi, tentu saja kitab suci (al Quran)  tidak akan dianggap sebagai sesuatu yang maha sakral sebagai petunjuk yang haqiqi, karena telah bertentangan dengan realitas alam semesta.

Sementara itu, Osman Bakar dalam bukunya Tauhid & Sains  pada awal paragraf pendahuluan mengemukakan bahwa buku ini bertujuan untuk menyuguhkan diskusi mendalam tentang hubungan antara agama dan sains. Ide utama yang membentuk sifat dan corak hubungan tersebut adalah doktrin metafisika Keesaan Allah (Tauhid). Inti agama adalah penerimaan doktrin dan pengamalan nyata tauhid dalam semua domain kehidupan dan pemikiran manusia, sehingga penciptaan sains oleh seorang muslim mestilah berkaitan secara signifikan dengan doktrin tauhid. (Bakar, h. 29-30)

Dalam buku ini Osman menolak tegas anggapan bahwa sains islam tidaklah logis dan tidak rasional. Untuk menguatkan argumennya, Osman mengkaji perkembangan logika dan penggunaan metode eksperimen dan kemudian membandingkannya dengan metafora Tuhan sebagai “pembuat jam”, dalam hal ini Osman berusaha menunjukan bahwa observasi dan eksperimen muslim dibentuk atas dasar kesadaran akan eksistensi tuhan. Islamitas atau islami dari sains islam, muncul dari fakta bahwa spirit, kandungan pengetahuan, dan prakteknya ditentukan terutama oleh ajaran Islam, sehingga pada tingkat realitas fisik, kesadaran religious seorang muslim mmempengaruhi sikapnya terhadap realitas dan kajian ilmiahnya terhadap realitas tersebut, sebab dunia fisik tidak memiliki eksistensi yang berdiri sendiri akan tetapi selalu terkait dengan eksistensi tuhan. (Bakar, h. 75)

Terkait islamisasi sains ini, sekelompok muslim kontemporer mempertanyakan legitimasi istilah “ Sains Islam”  dengan berargumen bahwa kaum muslim masa lalu tidak pernah menggunakan istilah “sains islam” ketika mengacu pada sains dalam peradaban islam. Untuk menjawab persoalan ini Osman mengatakan bahwa, muslim masa lalu tidak menggunakan istilah ini disebabkan kebutuhan akan hal ini belum muncul, sehingga penggunakan istilah “sains islam” akan muncul manakala harus melakukan pembedaan yang tegas antara segala sesuatu yang bersifat “islami” dengan yang “non islam”. (Bakar, h. 31)

Terkait masalah metodologi dalam sains islam, Osman mengatakan bahwa berbicara tentang metodologi adalah berbicara tentang cara-cara atau metode-metode yang digunakan manusia untuk bisa memperoleh pengetahuan tentang realitas. (Bakar, h. 87) Apa yang dikemukakan Osman ini tentu saja mengindikasikan bahwa seorang ilmuan memiliki keterkaitan yang erat dengan objek kajiannya, objektivitas adalah bukan sekedar cara observasi empiris yang bebas nilai, akan tetapi harus memiliki pijakan dalam sains terutama yang berhubungan dengan realitas tertinggi (Tauhid), bukan sebagaimana yang terjadi pada sains modern.

Dengan demikian, maka sains menurut Osman tidaklah bebas nilai dan juga tidak sepenuhnya universal. (Bakar, h. 37)Apa yang dikemukakan Osman ini nampaknya berbeda dengan apa yang dikemukakan Hoodbhoy. Lebih lanjut Osman kemudian mengatakan bahwa secara praktis setiap aspek sains islam dibentuk diwarnai oleh keyakinan dan sistem nilai islam. Sistem nilai ini tentu tidak hanya berlaku bagi sains islam, akan tetapi berlaku juga pada peradaban lainnya, termasuk juga sains Barat Modern. 

Untuk membuktikan dimensi ganda sains ini, Osman mengemukakan bahwa, fakta historis menunjukan tidak ada satu budaya atau peradaban tertentu yang sepenuhnya mewarisi tradisi ilmiah dari para pendahulunya, apalagi seluruhnya. Setiap budaya atau peradaban tentu akan selektif mewarisi tradisi ilmiah dari pendahulunya dengan mengambil elemen-elemen yang sesuai dengan tata nilai budayanya. Demikian pula dengan islam, tentu akan secara selektif mewarisi peradaban Yunani, Cina, Persia, dan India. Demikian juga halnya dengan tradisi ilmiah yang dikembangkan sains modern, akan selektif mewarisi tradisi ilmiah peradaban islam. (Bakar, h. 38)

Penutup

Apa yang dianggap sebagai peradaban modern (sains modern) saat ini merupakan sumbangan terbesar yang telah diberikan oleh peradaban islam. Namun kesalahan terbesar yang dilakukan islam adalah ketidakmampuanya mengembangkan tradisi sains tersebut, sehingga sampai saat ini terpuruk di tengah-tengah kemajuan sains modern.

Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan sikap a priority complex di kalangan kaum muslim dengan melakukan justifikasi terhadap perkembangan ilmiah dewasa ini, sehingga muncul istilah “sains islam”. Istilah inipun kemudian memunculkan diskusi panjang.

Penggunaan istilah “sains islam” ini dengan getol dikampanyekan Osman Bakar dalam bukunya Tauhid & Sains, sementara itu di lain pihak justru Pervez Hoodbhoy menolak penggunaan istilah “sains islam” tersebut, sebab sains dinilai sebagai sesuatu yang bersifat universal dan bebas nilai. 

Sebagai penutup tulisan ini dapat disimpulkan bahwa Osman Bakar dan Pervez Hoodbhoy bersebrangan pemikiran terkait penggunaan istilah “Sains Islam”, namun tidak ada distorsi pemikiran yang signifikan dalam hal pandangan islam terhadap sains dan perkembangannya. 

Daftar Pustaka

Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains menurut alQuran”,( Bandung : Mizan), 1996
M. Quraish Shihab, Membumikan al Quran, (Bandung : Mizan), 2003
Pervez Hoodbhoy,“ Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas antara Sains dan Ortodoksi Islam”, (Bandung: Mizan), 1996
Osman Bakar , " Tauhid dan Sains “ (Bandung: Pustaka Hidayah)
IMPLEMENTASI HYPNO TEACHING  DALAM PROSES PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
 
Oleh:
Ahmad Munadi

Pendahuluan

Pendidikan merupakan tumpuan harapan suatu bangsa agar bisa eksis di tengah  pergulatan kehidupan masyarakat internasional. Indikator keberhasilan sebuah proses pendidikan terdeteksi dari kualitas Sumber Daya Manusia. Sumber Daya Manusia yang berkualitas terlahir dari lembaga pendidikan yang berkualitas. Kualitas lembaga pendidikan tentu saja akan dipengaruhi oleh mutu sebuah proses pembelajaran, sebab proses pembelajaran menurut hemat penulis merupakan ruh dari sebuah lembaga pendidikan. Bagaimanapun “saktinya” sebuah kebijakan, ketika kebijakan tersebut tidak mampu diinterpretasikan secara tepat dalam proses pembelajaran, maka kebijakan tersebut akan “mandul”. Sebut saja kebijakan tentang kurikulum, fakta yang terjadi adalah serangkaian perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia ternyata hingga kini belum memperlihatkan hasil yang signifikan.
Terkait persoalan tersebut, maka dalam hal ini gurulah yang menjadi aktor utama rancang-bangun mutu sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas, di samping beberapa faktor lainnya. Tanpa keterlibatan aktif guru, pendidikan kosong  dari materi, esensi, dan substansi. Secanggih apapun sebuah kurikulum, visi misi, dan kekuatan finansial, sepanjang gurunya pasif dan stagnan, maka kualitas lembaga pendidikan akan merosot tajam, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, maka guru sebagai aktor yang terlibat langsung dalam proses pembelajaraan sejatinya mampu menciptakan produk-produk inovatif yang muncul dari kreativitas dan daya nalar yang tinggi. Kreativitas menurut Balnadi Sutadipura sebagaimana yang dikemukakan Jamal Ma’mur Asmani menjadi unsur penting bagi seorang guru. Kreativitas adalah kesanggupan untuk menemukan sesuatu yang baru dengan jalan mempergunakan daya khayal, fantasi, atau imajinasi.
Dalam proses pembelajaran, kegagalan sebuah metode adalah ketika metode tersebut menjadi tempat bersandar terlalu lama, sehingga menyebabkan seseorang tidak bisa mandiri dan tergantung pada metode tersebut. Apabila pengajar dan para guru memahami cara berkomunikasi dengan bawah sadar siswa, tentu akan membantu dalam proses belajar mengajar. Salah satu metode komunikasi yang digunakan dan cukup populer saat ini adalah teknik hipnosis. Hipnosis merupakan seni komunikasi untuk mempengaruhi seseorang dengan mengubah tingkat kesadarannya. Hipnosis tidak hanya berguna untuk mengatasi permasalahan yang menyangkut kondisi fisik maupun psikis, melainkan juga dapat digunakan dalam upaya mengoptimalkan proses pembelajaran. Hipnotis dalam proses pembelajaran dikenal dengan istilah hypno teaching.
Dalam tulisan ini, penulis menawarkan sebuah metode dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan menggunakan teknik hipnotis untuk menciptakan suasana pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, sehingga daya kreatifitas siswa akan melejit dengan lebih maksimal.

Implementasi Metode Hypno Teaching  dalam Proses Pembelajaran PAI 

Hypno teaching  merupakan istilah baru yang seringkali menjadi objek pembicaraan akhir-akhir ini. Hypno teaching sendiri berarti suatu upaya menurunkan frequensi gelombang otak sehingga peserta didik menjadi rileks dan lebih sugestif dalam menangkap nilai-nilai positif dari sebuah proses pengajaran. Dengan demikian, maka hipnosis dalam pembelajaran bukanlah hipnosis sebagaimana yang dipahami pada beberapa tayangan acara televisi seperti Uya Kuya, Romy Rafael dan seterusnya. Namun hipnosis dalam pembelajaran hanya diarahkan untuk menciptakan kondisi kundusif dalam proses pembelajaran.
 Hipno teaching ini merupakan bagian dari ilmu hipnotis yang dikembangkan dewasa ini. Apa dan bagaimana hypno teaching, maka dalam tulisan ini, penulis akan mendeskripsikan model implementasi metode hypno teaching dalam proses pembelajaran. Untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif terkait metode hypno teaching, tulisan ini akan diawali dengan pemahaman dasar tentang hipnotis.

Hipnosis: Definisi dan Sejarah singkat Perkembangannya 

 
Istilah Hipnotis berasal dari kata hypnosis yang merupakan kata dasar dari hypnos yang artinya “dewa tidur” dalam legenda Yunani.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana yang dikemukakan Willy Wong & Andri Hakim, hipnosis adalah keadaan seperti tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali. Sementara itu makna kata hipnotis adalah membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan hipnosis; berkenaan dengan hipnosis.
Hipnotis merupakan suatu keahlian untuk memasukan pesan dari seseorang ke dalam diri orang lain, yang mengakibatkan si penerima pesan akan tergerak untuk melakukan perintah dari yang memberi pesan. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa hipnotis merupakan suatu kondisi diberlakukannya peran imajinatif. Hipnotis biasanya disebabkan oleh prosedur yang dikenal sebagai induksi hipnotis yang umumnya terdiri atas rangkaian panjang instruksi awal dan sugesti. Sugesti ini dapat disampaikan oleh seorang hypnotist di hadapan subjek atau mungkin dilakukan sendiri oleh subjek.
Pangumbaraan memberikan beberapa definisi hipnotis sebagai berikut:
1.     Hipnotis adalah suatu kondisi yang menyerupai tidur yang dapat secara sengaja dilakaukan kepada seseorang, di mana seseorang yang dihipnotis bisa menjawab pertanyaan yang diajukan serta menerima sugesti dengan tanpa perlawanan
2.      Hipnotis adalah teknik atau praktik dalam mempengaruhi orang lain untuk masuk ke dalam kondisi trance hypnotis
3.      Hipnotis adalah suatu kondisi di mana perhatian menjadi sangat terpusat, sehingga tingkat sugestibilitas meningkat sangat tinggi
4.      Hipnotis adalah seni komunikasi untuk mempengaruhi seseorang, sehingga mengubah tingkat kesadaran yang dicapai dengan cara menurunkan gelombang otak dari beta menjadi alpa dan theta
5.      Hipnotis adalah seni komunikasi untuk mengeksplorasi alam bawah sadar
Berdasarkan rumusan definisi tersebut di atas, maka dapat diformulasikan bahwa hipnotis merupakan sebuah ilmu komunikasi alam bawah sadar yang bertujuan untuk mempengaruhi komunikan dengan cara merubah gelombang kesadarannya.
Hipnotis sebagai sebuah ilmu sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, namun belum ada informasi yang jelas kapan hipnotis mulai ditemukan. John Af mengatakan bahwa ilmu hipnotis sama usianya dengan ilmu sihir, mistik, ilmu perbintangan, ilmu perwatakan (tabiat), ilmu ketabiban dan lain sebagainya. Lebih lanjut John Af mengatakan bahwa ilmu-ilmu sebagaimana yang dikemukakan tersebut banyak ditemukan dalam kitab-kitab kuno warisan Yunani, Mesir, India dan Arab.
Sejarah menginformasikan bahwa ilmu hipnotis mulai dipopulerkan pada abad ke 18 oleh Franz Anton Mesmer (1743-1814), seorang tabib di kota Wina yang menggunakan hipnotis untuk pasien-pasiennya yang sakit saraf. Teknik yang dilakukan Masmer ini dilakukan dengan menggunakan sifat alamiah magnetisme hewani. Masmer beranggapan bahwa pasiennya sembuh karena mendapat transfer magnetisme hewani dari dirinya. Selanjutnya teknik mesmer dilakukan oleh James Braid seorang dokter dari Inggris pada abad ke 19 yang kemudian menyimpulkan bahwa hipnotis bersifat psikologis.
Pada tahun 1958, American Medical Association mengesahkan penggunaan hipnosis dalam dunia kedokteran. Selanjutnya The British Medical Association dan Italian Medical Association for the Study of Hypnosis juga dibentuk dan menjadi salah satu ilmu yang resmi dipelajari dan diakui dalam dunia kedokteran.

Proses Terjadinya Hipnosis 

Proses hipnosis terjadi ketika terjadi perubahan pada gelombang otak dan ini sangat mempengaruhi perilaku manusia. Pada kondisi normal gelombang otak yang dominan adalah beta. Saat terjadi hipnosis maka gelombang otak akan berpindah dari beta ke alpha. Tulisan ini selanjutnya akan menguraikan lebih lanjut jenis-jenis gelombang otak pada manusia. Namun sebelumnya perlu dikemukakan di sini bahwa terdapat lima karakteristik utama dalam kondisi hipnosis atau trance yaitu: Pertama, Relaksasi fisik yang dalam, induksi cara yang digunakan untuk membawa subjek pindah dari pikiran sadar ke pikiran bawah sadar yang melibatkan konsentrasi fisik. Saat tubuh rileks, pikiran juga menjadi rileks. Saat rileks gelombang otak akan turun dari beta, alpha, theta dan delta.
Kedua, Perhatian yang sangat terpusat, dalam kondisi hipnosis perhatian akan terfokus. Dalam kondisi normal, pikiran sadar akan dipenuhi stimulus yang melalui lima pancaindra, namun dalam kondisi hipnosis perhatian akan terfokus pada satu stimulus.
Ketiga, Peningkatan kemampuan indra, eksperimen dengan menggunakan hipnosis menunjukan bahwa kemampuan indra dapat ditingkatkan. Indra dapat beroperasi dengan lebih akurat bila fungsinya diarahkan dengan menggunakan sugesti. Kemampuan berpikir logis meningkat tajam dan akurasi dalam berpikir deduksi juga meningkat.
Keempat, Pengendalian refleks dan aktivitas fisik, saat seseorang dihipnotis, detak jantung dapat dikendalikan, bagian tubuh dapat dibuat mati rasa, peiode menstruasi dapat diatur, sirkulasi darah dapat ditingkatkan atau dikurangi, tarikan nafas dan masukan oksigen menurun, temperatur tubuh berubah.
Kelima, Respons terhadap pengaruh pasca hipnotis, sugesti yang diberikan saat dalam hipnosis, dengan catatan kondisi sugesti ini tidak bertentangan dengan nilai dasar yang dipegang oleh subjek, akan dijalankan oleh subjek setelah ia tersadar atau bangun dari trance. Saat sugesti diberikan, subjek dapat menerima atau menolak atau langsung bangun secara spontan dari relaksasi hipnosis. Sugesti yang bersifat positif, baik, dan menguntungkan subjek akan lebih mudah diterima daripada sugesti negatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan para pakar, proses hipnosis terjadi akibat pengaruh 3 aspek fisiologis yaitu, aktivasi sistem saraf parasimpatik, pola gelombang otak, dan interaksi otak kiri dan kanan. Selanjutnya dalam tulisan ini uraian akan difokuskan pada dua aspek yang pertama.

Aktivasi sistem saraf parasimpatik

Manusia memiliki dua sistem saraf yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Sistem saraf pusat mengatur respons motorik hingga impresi sensori melalui otak dan saraf pada tulang belakang. Sistem saraf otonom mengatur sistem internal, yang biasanya merupakan gerak yang di luar kendali pikiran sadar.
Sistem saraf otonom yang  berkenaan dengan pengendalian organ-organ dalam secara tidak sadar terkadang  juga disebut susunan saraf tak sadar. Menurut fungsinya susunan saraf otonom dibagi dalam dua bagian yaitu: a) sistem simpatis yang terletak di depan kolumna vertabrata dan berhubungan serta bersambung dengan sum-sum tulang belakang melalui serabut-serabut saraf; b) sistem parasimpatis yang terbagi dalam dua bagian yang terdiri dari saraf otonom kranial dan saraf otonom sakral.
Sistem saraf otonom terbagi menjadi dua bagian yaitu sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Sistem saraf simpatik bertanggung jawab terhadap mobilasi energi tubuh untuk kebutuhan yang yang bersifat darurat seperti jantung berdetak lebih cepat dan lebih kuat, tekanan darah meningkat, pernafasan menjadi lebih cepat. Sementara itu sistem kerja saraf parasimpatik mengakibatkan detak jangnung melambat, tekanan darah menurun. Respons parasimpatik mengakibatkan relaksasi dan ketenangan.

Pola gelombang otak

Di samping aktivasi sistem saraf, proses hipnosis dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan pola gelombang otak pada manusia. Jaringan otak manusia menghasilkan gelombang listrik berfruktuasi yang disebut sebagai gelombang otak (brainwave). Gelombang otak ini terdiri atas empat jenis yaitu gelombang beta, alpha, theta, dan delta. Dalam satu waktu, otak manusia terkadang mampu menghasilkan berbagai gelombang otak secara bersamaan. Selanjutnya dari keempat gelombang otak tersebut pasti akan ada jenis gelombang otak yang dominan, inilah yang kemudian yang memperlihatkan aktivitas pikiran seseorang ketika itu.
Untuk mengetahui kondisi gelombang otak seseorang tentu tidak bisa dilakukan secara kasap mata, namun harus dilakukan dengan menggunakan detektor yang disebut dengan Electro Encephalograph (EEG). 

Gelombang Beta

Gelombang beta adalah gelombang otak yang dominan saat kondisi terjaga dan menjalani aktivitas sehari-hari yang menuntut logika atau analisis tinggi misalnya berolahraga, berdebat dan sebagainya. Dalam frekuaensi ini kerja otak cendrung memicu munculnya rasa cemas, khawatir, stres, dan marah.
Apabila diukur dengan alat pengukur gelombang otak, gelombang otak berputar sebanyak 14-24 putaran perdetik, sehingga dalam kondisi otak ketika itu tidak mudah menerima saran atau sugesti dari orang lain karena jumlah fokus cukup banyak dan sulit untuk diarahkan. Otak dalam kondisi beta sangat logis, analitisnonsugestif dengan jumlah fokus 5-9 fokus. Dalam waktu yang bersamaan fokus bisa tertuju pada banyak objek, contoh ketika berada di sebuah ruangan pandangan bisa terfokus pada  5-9 objek, baik lemari, kursi, meja dan sebagainya. 

Gelombang Alpha

Gelombang Alpha menggambarkan posisi khusyuk, rileks, mediatif, dan nyaman. Gelombang alpha mengindikasikan bahwa seseorang berada dalam light trance (kondisi hipnotis ringan) Gelombang Alpha merupakan gelombang yang timbul saat pikiran sadar mulai pasif, sebaliknya pikiran bawah sadar mulai aktif. Pada kondisi alpha, stres pikiran pikiran akan lebih rileks dan gelombang otak akan berputar 7-14 putaran per detik.

Gelombang Theta

Pada kondisi theta kesadaran manusia lebih mengarah ke dalam dirinya sendiri misalnya ketika merasakan kantuk yang mendalam, pada kondisi ini pikiran bawah sadar sudah benar-benar aktif. Gelombang theta berada pada frekuensi yang rendah. Seseorang akan berada pada kondisi ini ketika ia sangat khusyuk dan merasakan keheningan yang mendalam (deep meditation), serta mampu mendengar nurani bawah sadarnya. Kondisi theta bisa juga disebut kondisi setengah tidur (mediatif) dan kondisi gelombang otak seperti ini bukan kondisi hipnotis yang diperuntukan dalam proses pembelajaran di kelas.

Gelombang Delta

Kondisi delta merupakan frekuaensi terendah, gelombang ini terdeteksi saat tertidur pulas dan tidak bisa menerima sugesti apapun. Dan seseorang yang memasuki kondisi ini tidak bisa terhipnotis.

Interpretasi tentang belajar

Uraian berikut akan diarahkan untuk melihat konsep dasar tentang pembelajaran dengan menelaah beberapa interpretasi pemikir-pemikir pendidikan tentang pembelajaran. Wetherington sebagaimana yang dikutip Nana Syaodih mengemukakan bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola respons yang baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan. Sementara itu Sardiman mengatakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan sebagainya. Senada dengan kedua rumusan tersebut, Surya mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya
Berdasarkan rumusan-rumusan definisi tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan pada diri individu. Dari aspek pendidikan, belajar terjadi apabila terdapat perubahan dalam hal kesiapan (readiness) pada diri seseorang dalam berhubungan dengan lingkungannya, seseorang akan lebih respek dan memiliki pemahaman yang lebih baik (sensitive) terhadap objek, makna, dan peristiwa yang dialami dan lebih responsif dalam melakukan tindakan.
Dengan demikian maka pembelajaran merupakan upaya membelajarkan atau upaya mengarahkan aktivitas siswa ke arah aktivitas belajar. Dalam pembelajaran ini terdapat dua aktivitas sekaligus yaitu aktivitas guru (mengajar) dan aktivitas siswa (belajar). Sementara itu Dunkin dan Biddle sebagaimana yang dikemukakan Madjid mengatakan bahwa proses pembelajaran berada dalam empat variabel interaksi, yaitu: 1) variabel pertanda (presage variables) berupa pendidik; 2) variabel konteks (contex variables) berupa peserta didik; 3) variabel proses (process variables); dan 4) variabel produk (product variables) berupa perkembangan peserta didik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Bruner sebagaimana yang dikemukakan Nasution mengatakan bahwa dalam proses belajar terdapat tiga fase yaitu: (1) informasi, dalam setiap pelajaran siswa memperoleh informasi yang heterogen; (2) transformasi, informasi yang heterogen tersebut kemudian dianalisis, diubah ke dalam bentuk yang lebih abstrak dan konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas, sehingga disini diperlukan bantuan guru; (3) evaluasi, selanjutnya dilakukan proses penilaian mana yang bermanfaat di antara informasi yang diperoleh tersebut.
William Burton sebagaimana yang dirilis Oemar Hamalik mengemukakan beberapa prinsip belajar yaitu:
1.      Proses belajar adalah pengalaman, berbuat, mereaksi, dan melampaui (under going)
2.      Proses itu melalui bermacam-macam ragam pengalaman dan mata pelajaran-mata pelajaran yang terpusat pada satu tujuan tertentu
3.      Pengalaman belajar secara maksimum bermakna bagi kehidupan murid
4.      Pengalaman belajar bersumber dari kebutuhan dan tujuan murid sendiri yang mendorong motivasi yang kontinu
5.      Proses belajar dan hasil belajar disyarati oleh heriditas dan lingkungan
6.      Proses belajar dan hasil usaha belajar secara materil dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan individual di kalangan murid-murid
7.      Proses belajar berlangsung secara efektif apabila pengalaman-pengalaman dan hasil-hasil yang diinginkan  disesuaikan dengan kematangan murid
Proses pembelajaran sesungguhnya melibatkan berbagai aktivitas, baik yang berhubungan dengan siswa maupun guru, sehingga dalam proses pembelajaran tercipta interaksi aktif antara guru dan siswa. Model pembelajaran yang dikembangkan selama ini belum secara optimal mampu membangun lingkungan interaksi aktif antara guru dan siswa. Terkait persoalan ini Dede Rosyada mengatakan bahwa model pembelajaran pasif menggambarkan bahwa dalam proses belajar mengajar, guru menerangkan, murid mendengarkan, guru mendektekan murid mencatat, guru bertanya, murid menjawab. Model pembelajaran ini dianalogikan juga dengan pendidikan gaya bank, yakni pendidikan model deposito, guru sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan serta berbagai pengalamannya pada siswa, siswa hanya mencatat dan menfile semua yang disampaikan guru. Pengajaran model ini juga disebut dengan pendidikan gaya komando yang muncul di era 60 an dan 70 an. Dalam pengjaran model komando, guru biasanya mempersiapkan bahan untuk diterangkan kepada siswa, memberikan ilusterasi disertai contoh-contoh, dianalisis dengan berbagai faktornya, lalu disiapkan tes akhir pelajaran untuk mengukur keberhasilan pengajaran. 

Hypnoteaching dan Proses Pembelajaran

Informasi yang masuk melalui panca indera tidak secara langsung diserap oleh pikiran bawah sadar seseorang, namun membutuhkan daya analisis dari pikiran sadar yang disebut critical area. Critical area ini diperlukan dalam kehidupan sehari-hari sebagai filter informasi untuk menyeleksi hal-hal yang membahayakan dan bertentangan dengan diri. Untuk mengatasi critical area yang terlalu aktif pada diri seseorang, maka dibutuhkan hipnosis untuk menonaktifkan critical area, sehingga informasi yang diperoleh seseorang bisa diserap dengan mudah dan tersimpan di pikiran bawah sadar seseorang.
Hypnoteaching merupakan bagian dari ilmu hipnotis. Hipnotis sebagaimana yang dikemukakan pada uraian sebelumnya merupakan teknik komunikasi alam bawah sadar. Sementara itu hypnoteaching merupakan seni berkomunikasi dengan jalan memberikan sugesti agar para siswa menjadi lebih kreatif, cerdas dan imajinatif.
Sebagaimana hipnotis pada umumnya, maka penyajian materi dengan menggunakan metode hypnoteaching dilakukan dengan mengkomunikasikan pikiran alam bawah sadar yang dapat menimbulkan sugesti siswa untuk berkonsentrasi secara optimal terhadap materi yang disampaikan guru. Pikiran alam bawah sadar lebih mendominasi dalam setiap kegiatan manusia. Pikiran sadar hanya berpengaruh sekitar kurang lebih 12%, sementara pengaruh pikiran bawah sadar memegang kendali 88%. Pikiran bawah sadar lebih bersifat netral dan sugestif. Pikiran bawah sadar dapat diasumsikan sebagai sebuah memori jangka panjang manusia yang menyimpan berbagai peristiwa, baik yang berdasarkan pengalaman pribadi (eksperimental) maupun orang lain (induksi).
Kondisi hipnotis dapat dibagi menjadi hipnotis ringan (light hypnosis) dan hipnotis dalam (deep hypnosis). Proses belajar mengajar lebih menggunakan teknik light hypnosis. Dalam kondisi hipnotis ringan, gelombang pikir seseorang berada pada light alpha
Ibnu Hajar mengemukakan beberapa langkah dasar yang perlu dilakukan dalam mengimplementasikan metode hypnoteaching:

Niat dan motivasi dalam diri sendiri

Dalam mengimplementasikan metode ini, seorang guru harus menanamkan niat yang kuat, sebab niat ini akan memunculkan motivasi yang tinggi dan komitmen yang kuat.

Pacing

Pacing adalah menyamakan posisi, gerak tubuh, bahasa, serta gelombang otak dengan orang lain atau dalam hal ini adalah siswa. Adapun teknik melakukan pacing ini adalah: a) bayangkan usia guru setara dengan siswa; b) gunakan bahasa yang seringkali digunakan siswa; c) lakukan gerakan-gerakan dan mimik wajah sesuai dengan tema bahasan; d) kaitkan tema bahasan dengan tema yang seang trend di kalangan siswa; e) selalu up date  pengetahuan terkait tema bahasan

Leading

Leading berarti memimpin atau mengarahkan sesuatu. Proses ini dilakukan setelah pacing.
Dalam pembelajaran, guru harus mengkombinasikan antara peacing dan leading. Kombinasi kedua teknik ini akan menciptakan suasana kondusif dan efektif dalam pembelajaran. 

Gunakan kata positif

Langkah pendukung selanjutnya adalah menggunakan bahasa atau kata-kata yang positif. Kata-kata positif sesuai dengan sistem kerja pikiran alam bawah sadar yang tidak menerima sugesti negatif.

Berikan pujian

Pujian merupakan reward peningkatan harga diri seseorang. Pujian merupakan salah satu cara untuk membentuk konsep diri seseorang. Maka berikanlah pujian dengan tulus pada siswa Anda. Khususnya ketika ia berhasil melakukan atau mencapai prestasi. Sekecil apapun bentuk prestasinya, tetap berikan pujian. Termasuk ketika ia berhasil melakukan perubahan positif pada dirinya sendiri, meski mungkin masih berada di bawah standart teman-temannya, tetaplah berikan pujian. Dengan pujian, seseorang akan terdorong untuk melakukan yang lebih dari sebelumnya

Modeling 

Modeling adalah proses memberi tauladan melalui ucapan dan perilaku yang konsisten. Hal ini sangat perlu dan menjadi salah satu kunci hypnoteaching. Setelah siswa menjadi nyaman dengan Anda, kemudian dapat Anda arahkan sesuai yang Anda inginkan, dengan modal kalimat-kalimat positif. Maka perlu pula kepercayaan (trust) siswa pada Anda dimantapkan dengan perilaku Anda yang konsisten dengan ucapan dan ajaran Anda. Sehingga Anda selalu menjadi figure yang dipercaya.
Selanjutnya seorang guru ketika akan mengaplikasikan metode hypnoteaching dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Semua siswa dipersilahkan duduk dengan rileks
2.      Kosongkan pikiran untuk sesaat
3.      Tarik napas panjang lewat hidung, lalu hembuskan lewat mulut
4.      Lakukan secara berulang dengan pernapasan yang teratur
5.      Berikan sugesti pada setiap tarikan napas supaya badan terasa rileks
6.      Lakukan terus menerus dan berulang
7.      Perhatikan posisi kepala dari semua suyet. Bagi yang sudah tertidur, akan nampak tertunduk atau leher tidak mampu menahan beratnya kepala
8.      Selanjutnya berikan sugesti positif, seperti fokus pada pikiran, peka terhadap pendengaran, fresh otak dan pikiran, serta kenyamanan pada seluruh badan
9.      Jika dirasa sudah cukup, bangunkan suyet secara bertahap dengan melakukan hitungan 1-10, maka pada hitungan 10, semua sayet akan tersadar dalam kondisi segar bugar.
Hipnosis dalam pembelajaran sesungguhnya diperlukan untuk membendung aktifitas critical area siswa. Ketika aktifitas critical area siswa berada pada level yang cukup signifikan, maka informasi akan lebih sulit diterima dan direkam dalam memori jangka panjang (alam bawah sadar). Dalam kondisi ini, siswa akan menolak informasi-informasi yang bertentangan dengan keinginannya. Sebagai contoh, ketika siswa tidak menyukai salah satu materi pelajaran tentu ia akan sulit menerima informasi yang disampaikan guru. Hal ini terjadi karena dalam kondisi ini aktifitas critical area siswa cukup tinggi. Dengan demikian, maka seorang guru harus mampu menembus CA tersebut melalui metode hipnoteaching.
Andri Hakim mengungkapkan bahwa untuk dapat menembus CA, seorang guru harus memahami beberapa hal dalam proses hipnosis di antaranya: 1) Relaxation; proses pembelajaran harus dimulai dengan suasana yang menyenangkan yang dapat membuat siswa relaks, hal ini diperlukan untuk mengistirahatkan aktifitas CA. Relaxation ini bisa diciptakan dengan memperhatikan suasana kelas, penampilan pengajar dan kalimat pembuka yang dapat membangun motivasi siswa; 2) Mind Focus & Alpha State; hipnosis dalam pembelajaran bekerja pada level gelombang alpha yaitu mengkondisikan siswa untuk memasuki kondisi hipnosis (hypnosis state). Dalam kondisi ini siswa diharapkan lebih mudah merekam informasi ke dalam memori jangka panjang; 3) Komunikasi bawah sadar; komunikasi terkadang kurang efektif dan efisien. Hal ini disebabkan tidak adanya komunikasi bawah sadar yang mendukung terjadinya sebuah “two way communication heart to heart” atau komunikasi dua arah dari hati ke hati”. Dengan demikian maka diperlukan beberapa hal untuk membangun komunikasi bawah sadar di antaranya: a) informasikan hal yang akan disampaikan kepada siswa; b) guru harus memperhatiakan cara penyampaian dan cara mengatakan informasi tersebut; c) kondisi atau situasi yang kondusif.
Dalam proses pembelajaran PAI, seorang guru bisa menjadikan metode ini sebagai alternatif untuk bisa menciptakan suasana pembelajaran yang efektif dan menyenangkan dengan membawa siswa ke suasana rileks dengan mengubah gelombang pikiran siswa ke alam bawah sadar. Dengan demikian proses pembelajaran dapat berlangsung dengan suasana yang kondusif serta menumbuhkan daya kreativitas siswa.

Penutup

Pembelajaran merupakan ruh sebuah proses kependidikan, sehingga proses pembelajaran menjadi bagian yang cukup vital. Untuk menciptakan proses pembelajaran yang efektif, seorang guru dituntut melahirkan produk-produk inovatif dan kreatif.
Hypnoteaching merupakan metode alternatif yang bisa digunakan guru dalam membangun suasana pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Metode ini merupakan bagian dari aplikasi ilmu hipnotis yang bisa membawa siswa pada suasana relaksasi dalam menerima materi pelajaran.
Adapun sistem kerja metode ini adalah guru melakukan komunikasi pada alam bawah sadar siswa, hal ini dilakukan dengan cara mengubah gelombang otak dari beta ke alpha. Dengan demikian, maka  hipnosis dalam pembelajaran bukanlah model hipnosis yang dipersepsikan dalam acara-acara televisi, namun hipnosis dalam pembelajaran hanya berusaha membangun kondisi yang kondusif dan menyenangkan dalam proses pembelajaran (siswa tidak dibuat tertidur). Dalam kondisi alpha, konsentrasi siswa akan terfokus, di saat inilah proses pembelajaran akan menjadi lebih bermakna.

Daftar Pustaka

Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran: Pengembangan standar Kompetensi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009
Ade W. Gunawan, Hypnosis: The Art of Subconscious Communication, Meraih Sukses dengan Kekuatan Pikiran, Jakarta: Pt. Gramedia Utama, 2007
Agung Webe, “Smart Teaching 5 Metode Efektif Lejitkan Prestasi Anak didik”, Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2010
Andri Hakim, “Hypnosis in The Teaching: Cara Dahsyat Mendidik dan Mengajar”,Jakarta: Visimedia, 2011
Benny A. Pribadi, Model Desain Sistem Pembelajaran, Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2009
Eko Supriyanto, H., Inovasi Pendidikan: Isu-isu Baru Pembelajaran, Manajemen, dan Sistem Pendidikan di Indonesia, Surakarta: Muhamadiyah University Press, cet v, 2009
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Suatu Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2004
Dianata Eka Putra, Mahir Hipnotis dalam 1 Hari”, Jakarta: Cetak Buku Publisher, 2010
Ibnu Hajar, Hypno Teaching: Memaksimalkan Hasil Proses Belajar-Mengajar dengan Hipnoterapi, Yogyakarta: Diva Press, 2011
Jamal Ma’mur Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kratif, dan Inovatif, Yogyakarta: Diva Press, 2010
John Af., “Hipnotis Modern”, (Djap Djempoel, 2009), h. 28
Lias Hasibuan, H., Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010
M. Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997
Nana Syaudih Sukmadinata, Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004
Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 2009
Pangumbaraan, K.S., “Master Hipnotis”, Djap Djempoel, 2010
Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Setia I. Rusli & Johanes Arifin Wijaya, “The secret Of Hypnosis: Mengungkap Rahasia hipnosis, mencegah, menghindari, dan menghadapi kejahatan Hipnosis, Jakarta: Penebar Plus+, 2009
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam: Berbasis Inegrasi dan Kompetensi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Willy Wong & Andri Hakim, “Dahsyatnya Hipnosis”, Jakarta: Visimedia, 2010