Pages

Rabu, 24 Oktober 2012

URGENSI PENELITIAN AGAMA DALAM PENGKAJIAN ISLAM
Oleh: Ahmad Munadi



Pendahuluan
 
Agama merupakan persoalan yang cukup sentral dan menarik dikaji, sebab agama menjadi sebuah fenomena yang tidak bisa terpisahkan dari sejarah panjang manusia. Agama dan manusia ibarat jarum dan benang yang saling mengikat dimana keduanya tidak bisa berfungsi secara terpisah. Bagaimana mungkin kemudian agama berfungsi ketika tidak ada penganutnya, begitu pula sebaliknya, manusia dengan akalnya memilki keterbatasan dalam menghadapi persoalan hidup, keterbatasan inilah yang kemudian memaksa manusia tunduk pada sebuah realitas kekuatan transendental yang berada di luar jangkauan akalnya.
 
Dalam pandangan al Quran, keberagamaan itu merupakan fitrah yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya (QS: Ar Rum: 30), dengan demikian manusia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh agama. Ahmad Syafe'i, seperti yang ditulis U. Maman merupakan wahyu yang diturunkan Tuhan kepada manusia untuk memberikan orientasi, motivasi, dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral (U. Maman, dkk, 2006, h. 1). Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa agama merupakan solusi bagi manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan hidup. Namun harus diakui pula bahwa agama ternyata memilki "wajah ganda". Agama yang selama ini diyakini mampu menebar kedamaian, justru dalam waktu yang bersamaan agama menunjukan wajahnya yang garang, betapa tidak!, kasus 171 misalnya menjadi bukti historis kejamnya agama dan ironisnya benturan-benturan agama ini tidak lagi terjadi antar agama, bahkan menjadi gerakan intern agama. Kasus pengusiran dan penghancuran rumah tinggal serta tempat ibadah warga Ahmadiyah misalnya juga sebagai bukti bahwa gesekan dan benturan atas nama agama telah menerobos ranah private agama itu sendiri. Lalu persoalannya kemudian adalah mengapa agama yang sejatinya memberikan rasa damai justru menebar teror bagi manusia? Mengapa agama tidak mampu memberikan solusi atas problem sosial yang dihadapi manusia tersebut?
 
Nampaknya sangat menarik apa yang dikemukakan oleh Muhyar Fanani yang mengatakan bahwa harus diakui, saat ini ilmu keislaman tengah mengalami krisis yang akut, banyak problem kemanusiaan dan keindonesiaan yang tidak mampu disentuh oleh ilmu keislaman akibat banyaknya anomali yang dimilikinya, semua ini merupakan bukti ketidakberdayaan ilmu akhlak dan ilmu fiqih dalam memandu maasyarakat agar berprilaku taat terhadap norma-norma susila dan norma hukum. lebih lanjut Fanani mengatakan bahwa krisis ilmu keislaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keislaman dengan realitas kontemporer. (Muhyar fanani, 2008, h. 1-2) Apa yang menjadi "curahan hati" Fanani tersebut memang realita yang kini menghantam keilmuan Islam, sehingga tidak mengherankan kemudian muncul statemen yang menganggap keilmuan Islam mengalami kemandulan karena tidak mampu merespon persoalan kemanusiaan.
 
Terkait persoalan tersebut, maka dengan memperhatikan kondisi objektif masyarakat Indonesia yang begitu majemuk keberagamaannya, maka studi agama terasa sangat urgen dan mendesak untuk dikembangkan. Studi dan pendekatan agama yang bersifat komprehensif dan multidisipliner inilah yang kemudian menjadi pilihan yang tepat untuk masyarakat Indonesia yang majemuk (M. Amin Abdullah, 1996, h. 7), sehingga pendekatan ini tentu saja secara praktis berpotensi memulihkan eksistensi agama sebagai sebuah institusi kedamaian, namun tentu saja metodologi ini tidak dapat secara tuntas menyelesaikan persoalan-persoalan agama, sebab pendekatan agama jenis apapun mempunyai kelemahan dan kekurangan masing-masing mengingat fenomena agama ayng bersifat kompleks, demikian ungkap M. Amin Abdullah.

Urgensi Penelitian Agama

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan, yakni gabungan antara pendekatan rasional dan empiris. Pendekatan rasional melahirkan kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sementara pendekatan empiris merupakan pengujian dalam memastikan kebenaran (Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok, 2002, h. 27-28). Agama sendiri menurut para ahli didefinisikan sebagai: (a) kepercayaan terhadap kekuatan gaib; (b) suatu ketundukan kepada kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia, yang dipercaya mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia; (c) ikatan yang harus dipatuhi manusia yang berasal dari kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia. Para ahli Antropologi mengemukakan bahwa agama adalah persoalan yang paling sulit dari semua perkataan untuk didefinisikan karena agama menyangkut lebih daripada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kamauan juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi rasionalnya. (H. Abudin Nata, 2006, h. 167). Sementara itu para ahli soosiologi melihat agama sebagai sebuah realita sosial yang bersifat deskriptif, sehingga agama didefinisikan sebagai sebuah sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas. (D. Hendropuspito, 1997, h. 34). Dalam sejarah studi Islam, ditemukan beberapa tipologi dalam mengkaji Islam di antaranya dilihat dari orang yang melakukan studi muncul dua tipologi yaitu in sider (muslim) dan out sider (non muslim). Sementara dilihat dari pendekatannya, terdapat dua tipologi yaitu normatif (murni studi Islam) dan teori-teori non islamic studies.

Agama memiliki posisi yang strategis dalam kehidupan manusia. Sebuah teori fungsional  menyebutkan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya (Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok, 2002, h. 7), karena itulah kemudian eksistensi agama menjadi bukti jika agama masih memiliki fungsi dan peran yang sangat signifikan dalam kehidupan penganutnya. Agama dikaji sebagai sebuah institusi yang menampung aspirasi penganutnya, sehingga cita-cita masyarakat agama dalam membangun tatanan kehidupan yang etis dan egaletarian dapat terwujud. Namun cita-cita mulia ini terkadang menjadi sebuah hayalan ketika agama tidak mampu lagi menjadi solusi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan, bahkan ironisnya justru agama sendiri yang menjadi pemicu meledaknya bom konflik di masyarakat, mengapa demikian? Untuk menjawab persoalan tersebut tentu diperlukan sebuah anlisa dan pengkajian yang mendalam terkait problem-problem keagamaan yang berkembang di masyarakat pada ranah sosio-kultural. Pengkajian persoalan keagamaan ini menjadi sangat perlu mengingat ilmu-ilmu keagamaan konvensional - fiqih, akhlaq, dan sebagainya - tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut, dengan kata lain terjadi irelevansi antara keilmuan konvensional dengan persoalan kemanusiaan. Karena itulah kemudian sebagaimana yang dikemukakan M. Amin Abdullah, perlu adanya sebuah pendekatan agama yang berwajah ganda dalam studi agama, yaitu pendekatan yang bersifat teologis-normatif dan sekaligus pendekatan yang bersifat historis-kritis (M. Amin Abdullah, 1996, h. 4)

Agama sebagai seperangkat wahyu atau nilai normatif sangat problematis karena wahyu hanya berisi seperangkat nilai yang melampaui lintas waktu, tempat, fungsi dan manfaat, dan semua ini tidak mampu membangun peradaban tanpa adanya pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam teori-teori atau sistem yang bersifat kontekstual, aktual, dan operasional. (U. Maman dkk, 2006, h. 2). Bambang Sigiharto mengemukakan sebagaimana yang diungkap Atang mengatakan bahwa, tantangan yang dihadapi agama saat ini sekurang-kurangnya ada tiga yaitu: (1) dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai disorientasi nilai dan degradasi moralitas, agama ditantang untuk tampil sebagai suara moral yang otentik; (2) agama harus menghadapi kecendrungan pluralisme, mengolahnya dalam kerangka teologi baru dan mewujudkannya dalam aksi-aksi kerja sama plural; (3) agama tampil sebagai plopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. (U. Maman, dkk, 2006, h. 5) Persoalan-persoalan ini tentu saja memerlukan sebuah kajian kritis dan strategis terhadap agama. Namun kajian ini terkadang juga menimbulkan problem, Johan Maulemen misalnya sebagaimana yang ditulis U. Maman mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi problem  dalam kajian atau penelitian agama di antaranya: (a) logosentrisme pada kaum muslimin yang menganggap teks-teks berfungsi pada batas suatu bahasa dan kondisi tertentu; (b) penelitian terpusat pada teks-teks dan mengabaikan unsur yang tidak tertulis; (c) interpretasi yang terbatas pada al Quran; (d) teks klasik dianggap mewakili agama bahkan sebagai agama itu sendiri; (e) sifat apologetis terhadap aliran lain; (f) sistem pendidikan yang terlalu mementingkan tradisi terutama pada teks tradisional. (U. Maman, dkk, 2006, h. 5).

Terkait persoalan tersebut, Atang & Jaih Mubarok mengemukakan bahwa situasi keberagamaan di Indonesia cenderung  menampilkan keberagamaan legalistik-formalistik yang harus dimanifestasikan dalam ritual-formal, sehingga muncul formalisme agama yang lebih mementingkan "bentuk" daripada "isi", sehingga agama kurang difahami sebagai sebuah perangkat paradigma moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Hal senada juga diungkapkan Masdar F. Mas'udi yang mengatakan bahwa kesalahan kita sebagai umat Islam di Indonesia, adalah mengabaikan agama sebagai sistem nilai, etika, dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan berakal budi. (Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok, 2002, h. 8). Pemahaman keagamaan sebagaimana narasi tersebut, dianggap sebagai sebuah kekeliruan yang selanjutnya menjadi faktor terjadinya irelevansi ajaran agama terhadap realita sosial masyarakat agama, sehingga banyak persoalan-persoalan kemanusiaan yang kemudian tidak bisa dipecahkan agama. Namun menurut hemat penulis pemahaman agama yang substansial tentunya tidak terlepas dari pemahaman agama secara formal, dengan demikian pemahaman agama baik "bentuk" maupun "isi" sejatinya sejalan, sebab bagaimana mungkin kemudian memahami agama tanpa bentuk, jika demikian adanya maka agama tentu saja menjadi sesuatu yang membingungkan.


Islam sebagai sasaran penelitian

Terkait persoalan Islam sebagai sebuah objek kajian penelitian, Abudin Nata mengatakan bahwa agama yang merupakan hasil budaya manusia (agama ardi) penelitian dapat dilakukan sepenuhnya, baik terhadap ajaran, dan doktrin-doktrinnya, maupun terhadap bentuk pengalamannya. Sedangkan untuk agama samawi sasaran penelitian ada pada isi dan bentuk pengalaman agama dan bukan dari isi agama. (Abudin Nata, 2006, h. 170). Agama sebagai objek penelitian sesungguhnya sudah lama menjadi perdebatan. Harun Nasution mengatakan bahwa agama karena merupakan wahyu tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun ada harus menggunakan metode khusus yang berbeda dengan ilmu sosial. Para ilmuan beranggapan bahwa agama merupakan objek kajian atau sasaran penelitian, karena agama menjadi bagian dari kehidupan sosial kultural, sehingga penelitian agama bukan untuk meneliti hakekat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama. Dengan demikian, dapat diformulasikan bahwa agama ardhi dapat diteliti dari berbagai aspek baik materi maupun bentuk dari agama tersebut, sementara agama samawi hanya terbatas pada ritual keagamaan yang tampak pada realitas sosial.

Juhaya sebagaimana yang ditulis Atang mengatakan bahwa terdapat dua bidang kajian dalam penelitian agama yaitu: (1) Penelitian tentang sumber ajaran agama yang melahirkan disiplin ilmu Tafsir dan ilmu Hadits; (2) Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber ajaran agam itu, yakni ushul fiqh yang merupakan metodologi ilmu agama. Penelitian dalam bidang ini melahirkan filsafat Islam, ilmu Kalam dan Fiqih. Sementara itu, Atho Mudzhar mengungkapkan bahwa dalam penelitian agama, harus ada pemisahan antara istilah "agama" dan "keagamaan". Selama ini belum terdapat sebuah benang pemisah antara istilah "penelitian agama" dengan "penelitian keagamaan". Dengan mengutip pernyataan Middleton, Atho Mudzhar menjelaskan bahwa "penelitian agama (research on religion)", berbeda dengan "penelitian keagamaan (religiuos research)". Yang pertama lebih menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya pada tiga elemen pokok yaitu: ritus, mitos, dan magik. Sementara yang kedua lebih menekankan pada agama sebagai sebuah sistem atau sistem keagamaan (religious system). (Atho Mudzhar, 2007, h. 35)

Penelitian agama sebagaimana diungkap di atas sasarannya adalah agama sebagai sebuah doktrin. Sementara penelitian keagamaan sasarannya adalah agama sebagai gejala sosial. Pembedaan ini menjadi sangat perlu sebab akan membedakan jenis metodologi penelitian yang digunakan. Metode penelitian untuk agama sebagai sebuah doktrin sudah dirintis, misalnya dengan kemunculan ilmu ushul fiqh sebagai metode mengistimbatkan hukum dalam ajaran Islam dan metode mustholahu al hadits digunakan sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan sabda-sabda Nabi Muhammad SAW. Untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala sosial, tidak diperlukan metode tersendiri. Penelitian ini cukup meminjam metodologi penelitian sosial yang telah ada. (Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok, 2002, h. 36-37). Selanjutnya Atho Mudzhar mengatakan bahwa jika hendak mengkaji agama terdapat lima gejala yang hendaknya diperhatikan yaitu: (1) scripture, naskah-naskah sumber ajaran dan simbol-simbol agama; (2) para penganut atau pemimpin  dan pemuka agama, yakni sikap, prilaku dan penghayatan para penganutnya; (3) ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti sholat, haji, puasa, perkawinan, dan waris; (4) alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya; dan (5) organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul dan berperan, seperti NU, Muhamadiyah, Gereja Katolik, Gereja Protestan, syiah dan lain-lain. (Atho Mudzhar, 2007, h. 13-14). Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok memetakan agama sebagai sebuah objek kajian ke dalam 3 aspek yaitu, agama yang terwujud dalam bentuk pengetahuan dan pemikiran manusia, kemudian agama yang terwujud dalam sikap dan tindakan manusia, serta agama yang terwujud dalam benda-benda suci atau keramat.

Apabila penelitian agama berkenaan dengan pemikiran atau gagasan, maka metode-metode seperti filsafat, fisiologi adalah pilihan yang tepat. Apabila penelitian agama berkaitan dengan sikap prilaku agama, maka metode ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi merupakan metode yang paling tepat digunakan. Sedangkan penelitian yang berkenaan dengan benda-benda keagamaan, metode arkeologi atau metode-metode ilmu natural yang relevan digunakan. (Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok, 2002, h. 62) Pemetaan agama sebagaimana dikemukakan di atas hanyalah sebagai analisa terhadap wilayah kajian yang menjadi garapan penelitian agama. Dengan demikian, maka dalam mengkaji Islam sebagai objek penelitian tidak perlu kemudian dilakukan dengan menggunakan metode khusus, akan tetapi cukup meminjam beberapa metode penelitian yang relevan. Metode penelitian sosial misalnya dapat digunakan sebagai metode untuk meneliti prilaku keagamaan masyarakat. Sebagai contoh dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagian masyarakat di Pulau Lombok merayakannya dengan menyuguhkan hidangan berupa "penamat" kepada tamu undangan di masjid. Penamat merupakan hidangan penutup khas Maulid di pulau Lombok yang disajikan berupa buah-buahan dan makanan khas yang disusun membentuk gunungan (pen). Persoalan yang menarik untuk dikaji dalam kasus ini misalnya, apakah ada korelasi antara tingginya susunan "penamat" dengan strata sosial masyarakat agama? Apakah semakin tinggi strata sosial masyarakat akan menyebabkan semakin tingginya susunan "penamat" yang disajikan? atau Apakah tingginya susunan "penamat" dipengaruhi oleh tingkat keberagamaan masyarakat?. Contoh kasus ini misalnya dapat diteliti dengan menggunakan kerangka penelitian ilmu sosial, sebab penelitian ini akan mengkaji prilaku dan sikap keagamaan masyarakat.

Penutup

Eksistensi agama bagi penganutnya sangat signifikan karena agama dianggap sebagai konsultan yang akan mengatasi setiap problem kemanusiaan yang dihadapi penganutnya. Namun saat ini banyak persoalan-persoalan kemanusiaan di mana agama tidak mampu mengatasinya, bahkan terkadang  agama itu sendiri yang dianggap menjadi masalah. Persoalan ini tentu saja bukan seperti "tebak-tebakan" yang dengan mudah memprediksi jawabannya tanpa harus mengerutkan kening. Namun persoalan ini merupakan permasalahan yang memerlukan kajian yang mendalam. Oleh karena itu studi atau penelitian terhadap agama menjadi sesuatu yang sangat urgen dalam upaya merekonstruksi bangunan keagamaan, agar agama mampu menjawab berbagai persoalan keagamaan yang dihadapi penganutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar