REFLEKSI
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER TGKH. M. ZAINUDDIN ABDUL MADJID DALAM WASIAT
RENUNGAN MASA PENGALAMAN BARU
Oleh:
Ahmad
Munadi
Degradasi
moral yang melanda negeri ini merupakan persoalan penting yang menjadi tugas
berat yang harus dipikul para praktisi pendidikan. Degradasi moral muncul
sebagai akibat pudarnya karakter bangsa. Tergerusnya karakter tersebut dipicu
karena terjadinya disorientasi pendidikan di mana pendidikan terjebak pada cognitive
oriented yang selanjutnya mempertegas irelevansi antara aspek kognitif
(pengetahuan) dengan karakter yang sejatinya dimiliki oleh peserta didik. Cognitive
Oriented yang diharapkan menjadi basis kekuatan moral justru menjadi faktor
munculnya degradasi moral. Dengan demikian diperlukan sebuah kajian yang lebih
komprehensif terkait nilai-nilai karakter yang diharapkan dapat menjadi solusi
dalam rangka mengatasi problem pendidikan tersebut.
Internalisasi nilai-nilai karakter atau pendidikan karakter bukanlah terminologi baru yang menjadi perbincangan para pakar pendidikan
saat ini. Jika ditelusuri, geliat terminologi
pendidikan karakter sesungguhnya telah lama mengakar dalam sejarah pendidikan itu
sendiri. Pada abad ke 8 SM misalnya Homeros pernah menawarkan konsep pendidikan
karakter dalam masyarakat Yunani kuno yang menekankan pertumbuhan individu
secara utuh dengan mengembangkan potensi fisik dan moral. Pada abad ke 18,
terminologi ini kemudian mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis
dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Yang
menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor
penggerak sejarah, baik bagi individu maupun perubahan sosial.
Di samping itu, tema-tema yang terkait nilai-nilai karakter
(moralitas) pernah juga menjadi lahan garapan tokoh-tokoh Islam semisal Ibnu
Mishkawaih. Ibnu Mishkawaih misalnya dengan doktrin “jalan tengah” dalam
filsafat etikanya pernah mengemukakan bahwa perlu adanya sebuah keseimbangan
dalam diri manusia yang selanjutnya menjadi pokok akhlak mulia seperti jujur,
ikhlas, kasih sayang, hemat dan sebagainya. Nilai-nilai kejujuran, ikhlas,
kasih sayang, hemat, tersebut merupakan karakter yang harus terintegrasi dalam
proses pendidikan.
Dalam
konteks lokal, ternyata persoalan ini pernah juga menjadi perhatian seorang
tokoh karismatik masyarakat Lombok yaitu TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid selaku
aktor pendiri Nahdlatul Wathan (NW) yang menjadi organisasi terbesar di NTB. TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid merupakan
tokoh ulama di Pulau Lombok yang cukup concern dalam dunia pendidikan.
Konsep-konsep pendidikan yang ditawarkan berbasis religious-Ethic.
Gagasan ini terekam jelas dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru.
TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid berpandangan bahwa segala aktivitas hendaknya
dibangun atas dasar prinsip iman dan taqwa. Karena itulah kemudian nilai-nilai
pendidikan karakter yang dirumuskan berlandas tumpu pada nilai-nilai ilahiyah
(religius). Nilai religius inilah yang selanjutnya menjadi embrio munculnya
nilai-nilai karakter lainnya, baik domain nilai karakter yang berhubungan
dengan individu maupun domain nilai karakter yang berhubungan dengan lingkungan
sosial.
TGKH. M. Zainudin Abdul Madjid menggagas nilai-nilai
pendidikan karakter dalam membangun karakter bangsa yang dikemas dalam
syair-syair Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, yang kaya akan
kandungan nilai-nilai pendidikan karakter. Dalam salah satu syairnya, TGKH. M.
Zainuddin Abdul Madjid misalnya mengungkapkan:
Ya
Subhanallah ajib bin heran
Sekarang
mereka terputus iman
Karena
lupanya kepada Tuhan
Yang
telah menjamin di dalam Qur’an ( Bagian 1 Syair No 96)
Kalau
diserahkan kepada mereka
Memimpin
agama atau Negara
Maka
kiamat agama kita
Sebelum
kiamat Nusa dan Bangsa ( Bagian 1 Syair No 97)
Pada bait syair yang pertama, TGKH. M. Zainuddin Abdul
Madjid menegaskan bahwa banyak manusia yang saat ini tidak lagi bertindak atas
dasar iman, karena iman seolah telah hilang dari hatinya seiring dengan
lunturnya eksistensi Tuhan di relung hatinya. Terkait persoalan ini dalam syair
yang selanjutnya TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid kemudian mengemukakan bahwa
jika sebuah komunitas dimotori oleh seorang yang jiwanya kosong dari rasa iman
maka hancurlah komunitas tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan dalam syair
tersebut bahwa jika agama dan negara dipimpin oleh seseorang yang tidak
memiliki keimanan maka akan runtuhlah agama tersebut sebelum hancurnya nusa dan
bangsa. Manusia diciptakan Tuhan agar selalu mengabdi kepada-Nya, bukan
semata-mata terlahir ke dunia ini untuk memenuhi kebutuhan jasadiah saja. Akan
tetapi manusia harus memenuhi kebutuhan ruhiyah yaitu sebagaimana mewujudkan
keimanan yang bersih. Keimanan yang bersih tersebut dapat diwujudkan dengan
menanamkan nilai-nilai rabbaniyah.
Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru adalah salah satu di antara sekian
banyak karya TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, karya ini cukup populer di
kalangan NW karena karya ini merupakan wasiat yang sengaja ditujukan secara
khusus kepada warga Nahdlatul Wathan. Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru
merupakan sebuah karya yang terdiri dari kumpulan syair hasil renungan dan
pengalaman hidup TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid. Syair-syair dalam karya ini
terdiri dari tiga bagian. Pada bagian yang pertama terdapat 233 syair yang
ditujukan kepada seluruh warga NW, kemudian pada bagian yang kedua terdapat 112
syair yang mengandung pesan untuk selalu bersatu memperjuangkan NW dan bagian
yang terakhir merupakan wasiat tambahan yang terdiri dari 87 syair.
Gagasan nilai-nilai pendidikan karakter TGKH. M.
Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru terpartisi
dalam 13 nilai yaitu (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5)
Kerja Keras, (6) Mandiri, (7) Kreatif, Gemar Membaca dan Rasa Ingin Tahu, (8)
Cinta Tanah Air dan Semangat Kebangsaan, (9) Menghargai Prestasi, (10)
Bersahabat/komunikatif, (11) Cinta Damai, (12) Peduli Sosial, dan (13) Tanggung
Jawab.
Nilai-nilai pendidikan karakter yang ditawarkan
TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid memiliki relevansi yang kuat terhadap pendidikan
di Indonesia yang saat ini dihadapkan pada persoalan degradasi moral. Degradasi
moral ini nampaknya dipicu oleh orientasi pendidikan yang terjebak pada cognitive
oriented yang selanjutnya menumbuhsuburkan irelevansi antara ilmu dan
akhlak. Sejalan dengan hal tersebut, maka pendidikan sejatinya tidak hanya
terbatas pada transformasi ilmu pengetahuan yang menjurus pada peningkatan
kemampuan intelektual semata, tetapi juga berorientasi pada internalisasi
nilai-nilai moral.
Dengan merefleksikan gagasan nilai-nilai karakter
TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru,
maka para aktor pendidikan sejatinya menjadikan pendidikan karakter sebagai
skala prioritas pembangunan pendidikan di negeri ini. Gagasan nilai karakter
yang ditawarkan TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat Renungan Masa
Pengalaman Baru memiliki relevansi yang cukup kuat dalam konteks pendidikan
Indonesia. Relevansi tersebut terekam jelas
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa tujuan Pendidikan
Nasional adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak
mulia. Kedua kata kunci ini tentu saja sangat relevan dengan nilai religius
yang menjurus pada ikhtiar untuk membangun sinergitas tiga ranah,
kognitif-afektif-psikomotorik sebagai langkah dalam mendobrak irrelevansi
antara ilmu dan akhlak (moralitas) siswa.